Sejarah akan harum dengan darah mujahid dan tinta para ulama. Darah yang menetes dari para mujahid, akan senantiasa mampu membangkitkan generasi setelahnya ketika ditulis kisahnya oleh para ulama. Tulisan-tulisan para ulama tentang para mujahid terasa hidup dan menghidupkan.
Pada tanggal 28 Agustus 1966, sebagaimana dikisahkan oleh Aminah Quthb kepada Dr Abdullah Azzam, ia dipanggil oleh Direktur Penjara Perang Mesir. Sesampainya di sana, ditunjukkanlah kepada Aminah surat keputusan hukuman mati bagi Sayyiq Quthb, Hawwasy, dan Abdul Fattah Ismail.
Kata direktur itu kepada Aminah, “Kita masih memiliki kesempatan terakhir untuk menyelamatkan Ustadz,” Yang ia maksud dengan Ustadz adalah Sayyid Quthb. Lanjutnya, “Dia harus meminta maaf.”
Jika beliau meminta maaf, pihak pemerintah zalim Mesir kala itu akan meringankan hukuman bagi ulama yang menulis tafsir Fi Zhilal al-Qur’an ini, dan beliau akan dibebaskan enam bulan setelahnya dengan keadaan sehat dan bugar. Sebab, lanjut direktur, “Kematian Ustadz adalah suatu kerugian besar bagi seluruh dunia.”
Aminah pun diminta olehnya untuk membujuk Sayyid Quthb. Sesampainya di penjara dan menyampaikan pesan tersebut, sosok yang teguh dan senantiasa terpancar semangat perjuangan dari tiap tulisannya ini berkata, “Atas kesalahan apa aku harus meminta maaf, wahai Aminah?”
Begitulah keteguhan Rabbani. Ia tak gentar dengan kematian. Bahkan, ketika kehidupan yang diperoleh harus ditebus dengan kehinaan, ia lebih memilih mati dalam kehormatan karena membela kalimat Allah Ta’ala. Tegasnya, “Apakah aku harus meminta maaf karena beramal di pihak Rabbul ‘Izzati?”
“Demi Allah”, lanjutnya tanpa gentar, “Aku hanya akan meminta maaf jika aku bekerja untuk selain Allah Ta’ala.” Itulah sosok-sosok yang teguh sebab kedekatannya dengan Allah Ta’ala. Ia meyakini apa yang diperjuangkan, dan pantang mundur meski sejengkal.
“Tenanglah, wahai Aminah”, tuturnya teduh bertenaga, “Sekiranya umur belum waktunya habis, maka hukuman mati itu tidak akan jadi dilaksanakan.”
Meski akhirnya dihukum mati di tiang gantungan dan tidak diketahui di mana jasadnya dimakamkan, Sayyid Quthb melegenda hingga kini. Tulisan dan taujihnya bertenaga, sanggup menyentuh hati dan menggelorakan jiwa pembacanya.
Bahkan di tahun pertama ketika hukuman mati dilakukan padanya, Fi Zhilal al-Qur’an yang belum pernah dicetak sebelumnya berhasil di cetak tujuh kali dalam setahun. Bahkan, beredar ungkapan-ungkapan menakjubkan dari kalangan penerbitan yang banyak dikuasai oleh orang Nasrani kala itu, “Jika tidak ingin bangkrut, cetaklah Fi Zhilal al-Qur’an.” [Pirman]