Lathifah Husain Ash Shuli bukan sekedar menjadi ibu bagi anak-anak Hasan Al Banna. Lebih dari itu, ia memposisikan diri sebagai ibu dari kader-kader dakwah.
Jika Hasan Al Banna banyak beraktifitas di luar rumah dan pergi dakwah ke berbagai daerah, Lathifah Husain Ash Shuli hampir selalu berada di rumah. Para akhwat yang ada masalah, merekalah yang datang ke rumah Lathifah.
Banyak akhwat yang datang silih berganti, tentu beragam pula masalah yang mereka bawa. Lathifah tak pernah menolak mereka. Ia senantiasa menyediakan waktu untuk mendengar keluh kesah mereka, menelisik guratan masalah di balik wajah, memperhatikan mimik mereka, mencari akar masalah yang sebenarnya dan berupaya memberikan solusi yang paling mudah. Dan tentu saja syar’i.
Di antara masalah yang sering diadukan para akhwat kepada Lathifah, selain persoalan dakwah akhwat muslimah, adalah persoalan keluarga. Ada yang mencari solusi untuk masalah keluarga yang menghimpitnya, ada yang mengeluhkan suaminya.
Seperti siang itu. Seorang akhwat datang mengeluhkan kondisi hubungan dengan suaminya. Lathifah mendengarkannya dengan seksama. Memberi waktu secukupnya kepada akhwat tersebut untuk menceritakan semua masalah yang menyesakkan dadanya. Lathifah sadar, terkadang yang dibutuhkan akhwat bukanlah solusi terperinci atas apa yang ia sebut sebagai masalah. Tetapi ia membutuhkan tempat untuk mencurahkan segala masalah itu. Ia ingin didengar. Ia laksana kran yang tersumbat sehingga airnya keruh dan berpenyakit, sementara air suci tak bisa masuk karena tak ada lagi ruang. Begitu kran itu dibuka, tumpahlah segala kekeruhan dan lapanglah ruang jiwanya sehingga kesucian fitrah kembali mengisi dan menyapu seluruh masalahnya.
“Apa yang dilakukan anakku kepadamu sehingga kamu seperti ini?” kalimat itu bukan sekedar memancing akhwat untuk mencari sendiri akar masalahnya. Tetapi juga membuatnya sangat dekat karena ummahat di hadapannya itu menyebut suaminya sebagai anak.
Kedekatan adalah faktor utama dalam sebuah konseling. Dan ikatan tulus Lathifah kepada setiap kader dakwah membuat mereka merasa dekat. Kedekatan juga merupakan faktor keberhasilan sebuah nasehat. Sering kali ketika mendapatkan nasehat, orang akan melihat siapa yang berbicara dan apa hubungannya. Jika ia adalah orang lain yang memiliki sekat psikologis, ia cenderung tidak menganggap nasehat itu. Bahkan terkadang ia menganggap nasehat sebagai tindakan menggurui. Namun begitu seseorang mendapat nasehat dari orang yang sangat dekat dengan dirinya dan ia menangkap keikhlasan di balik nasehat itu, serta merta ia akan menerima dan mengikutinya.
Dan itulah yang terpancar dari Lathifah. Pertama-tama ia menyambut setiap akhwat dengan sambutan hangat persaudaraan. Seperti dua saudara yang lama tak berjumpa. Lalu ia menambah kedekatan dengan kalimat pembuka, kemudian dengan penuh perhatian memperhatikan setiap kata dan curhat akhwat di depannya. Meski demikian, ia tak kehilangan esensi di balik masalah itu. Apa akar masalahnya. Apa problem utama di balik cerita panjangnya. Kemudian barulah ia memberikan solusi; solusi yang syar’i dan mudah tanpa dianggap menggurui. [Muchlisin BK/kisahikmah]