Kaya dan miskin hanyalah ujian hidup. Bukan perlambang mulia atau tidak mulianya seseorang di hadapan Allah Ta’ala. Fir’aun dan Qarun ditaqdirkan menjadi kaya, tapi kekayaannya sama sekali tidak menyelamatkan keduanya di dunia dan akhirat. Namun Sulaiman ‘Alaihis salam, Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan nama lainnya, mereka ditaqdirkan menjadi orang yang kaya dan kekayaannya itu terbukti menjadi salah satu sebab ridha Allah Ta’ala kepada mereka.
Ada orang kaya yang dimuliakan di dunia dan dimasukkan ke dalam surga. Ada banyak pula orang yang berlimpah harta tapi mendapatkan siksa dunia dan kesengsaraan abadi di neraka.
Si miskin pun demikian. Ada orang yang miskin hingga akhir hayatnya dan masuk ke dalam neraka lantaran menolak beriman kepada Allah Ta’ala. Namun, ada pula sahabat mulia Abu Dzar al-Ghifari, Bilal bin Rabbah, dan sosok-sosok miskin harta lainnya yang diberikan kenikmatan di dunia dengan iman lantas dimasukkan ke dalam surga-Nya Allah Ta’ala.
Bahkan, dalam banyak kasus, kemiskinan bisa mencegah seseorang dari melakukan dosa dan maksiat kepada Allah Ta’ala. Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah menuturkan, “Dalam beberapa kesempatan, kemiskinan bisa menyebabkan seseorang terhindar dari dosa dan maksiat.”
Seorang penyair yang kerap mengonsumsi khamr, Muhammad bin Muhammad al-Abbasi al-Baghdadi pernah menyenandungkan sebuah syair. Dia ditanya oleh kawannya lantaran jarang terlihat minum khamr dalam masa setahun silam. Rupanya, dia urung mengerjakan kebiasaannya itu lantaran bangkrut. Tidak punya uang. Hidupnya menjadi miskin.
Lihatlah ke sekeliling. Betapa orang yang tak mampu membeli televisi terbebas dari dosa melihat lawan jenis dan aurat yang dihidangkan di televisi-televisi milik orang berduit?
Saksikanlah, betapa orang-orang yang tidak punya uang untuk membeli kuota internet terbebas dari dosa menyaksikan gambar dan tontonan mengumbar syahwat yang hanya bisa dilihat melalui tayangan online?
Cermatilah, ada begitu banyak orang yang dijaga matanya dari melihat aurat lantaran tidak memiliki uang untuk sekadar jalan ke pusat perbelanjaan. Atau anak-anak yang nikmat dengan permainan petak umpet lantaran orang tuanya tidak kuasa membelikan perangkat permainan canggih yang tidak steril dari iklan yang menawarkan kehormatan.
Itulah sebaik-baik kemiskinan. Kemiskinan yang diikuti dengan sabar. Kemiskinan yang semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Kemiskinan yang membuat seorang hamba urung dari melakukan dosa dan maksiat.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]