Kebahagiaan Hakiki, Hikmah dari Cerita Danau Sebening Air Mata

0
Kebahagiaan hakiki
ilustrasi (pinterest)

Seorang pemuda mengembara sekian lama demi menemukan hakikat kebahagiaan. Ia bertanya pada banyak orang. Juga para sufi. Apa itu kebahagiaan hakiki.

Banyak jawaban yang ia dapatkan, tetapi belum ada jawaban yang memuaskan. Hingga sejumlah sufi menyarankannya menemui guru sufi yang tinggal di puncak pegunungan. Ia terkenal bijaksana, memiliki banyak murid dan mengerti makna kehidupan.

“Wahai Syaikh, saya ingin mengerti, apa kebahagiaan hakiki,” tanya pemuda itu ketika bertemu sang Guru. Yang ditanya tak langsung menjawab. Ia diam untuk beberapa saat.

“Apakah engkau sungguh-sungguh ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu?”

“Iya, Syaikh. Saya telah menempuh perjalanan demikian jauh untuk pertanyaan ini. Apa pun akan saya lakukan demi mendapatkan jawabannya.”

“Kalau begitu, pergilah ke perkampungan di lereng gunung sana. Penduduknya membutuhkan air. Buatlah danau yang untuk mencukup kebutuhan mereka. Danau yang airnya sejernih air mata. Satu tahun lagi aku akan datang melihatnya.”

Proyek Danau Sejernih Air Mata

Tugas yang berat. Tetapi pemuda itu tetap berangkat. Sembari mulai menyimpulkan, mungkin kebahagiaan hakiki adalah kerja keras dan membantu sesama manusia.

Ia mulai bekerja menggali danau. Setiap hari, sejak matahari terbit hingga matahari terbenam. Berbilang bulan akhirnya ia berhasil membuat danau seluas lapangan bola dengan kedalaman sekitar tiga meter. Tapi itu baru separuh pekerjaan. Ia perlu memenuhi danau itu dengan air.

Maka ia pun membuat parit untuk mengalirkan air dari sumber di pegunungan ke danaunya. Pekerjaan ini juga memakan waktu berbulan-bulan. Hampir setahun berlalu sejak ia datang ke perkampungan tersebut, selesai juga parit-parit itu. Lalu air pun mengalir dari gunung ke danau. Jadilah danau yang jernih. Namun, malam sebelum Guru Sufi datang, turun hujan lebat. Derasnya air hujan membuat sebagian parit longsor. Tanah-tanah berhamburan, membuat air menjadi keruh. Danaunya pun berubah keruh.

“Jangan menyerah,” kata Guru Sufi sambil menepuk bahunya. “Buatlah danau ini menjadi bening. Sejernih air mata. Satu tahun lagi aku akan kembali ke sini.”

Sepulangnya sang Guru, pemuda itu kembali melanjutkan kerjanya. Ia menemukan cara, bagaimana agar parit itu tidak longsor saat hujan datang. Bagaimana agar danau tetap jernih meskipun hujan deras semalaman.

Maka ia perbaiki seluruh paritnya. Ia beri saringan dari pinggir hingga bawah parit itu. Sepanjang tahun ia bekerja. Saat hujan datang adalah saat-saat melakukan uji coba. Hampir setahun berlalu dan ia berhasil menjaga danau tetap jernih meskipun hujan lebat tiba.

Satu tahun yang dinanti tiba. Guru Sufi mengunjunginya.

“Wahai Syaikh, danau ini kini telah jernih sejernir air mata. Bahkan hujan deras pun tak bisa mengeruhkannya,” ada kebanggaan tersendiri menunjukkan hasil kerja kerasnya.

Di luar dugaan, Guru Sufi mengambil bambu panjang lalu mengaduk-aduk dasar danau. Tanah di dasar danau itu pun berhamburan, menimbulkan kekeruhan. Danau yang semula bening berubah menjadi keruh.

“Buatlah danau ini menjadi bening. Sejernih air mata,” kata sang Guru sambil menepuk bahunya. “Yang tidak bisa dikeruhkan dari luar. Baik karena hujan maupun karena diaduk bambu. Buatlah danau seperti itu, setahun lagi kita bertemu.”

Pemuda itu merasa seperti dipermainkan.. Namun demi mendapatkan jawaban apa itu kebahagiaan sejati, ia tak menyerah.

Makna Kebahagiaan Hakiki

Ia berpikir, mengapa danau yang jernih itu bisa mendadak keruh? Ah, itu karena tanah di dasarnya diaduk. Kalau diperdalam, pasti tidak bisa diaduk dengan bambu lagi.

Maka ia memulai pekerjaannya kembali. Menggali. Memastikan danau itu lebih dalam. Agar tidak bisa diaduk dengan bambu di sekitar situ. Empat meter, lima meter, ia terus menggali hingga mencapai 10 meter. Dan alat galinya mulai menyentuh bebatuan dasar danau. Tiba-tiba, keluarlah air memancar dari balik bebatuan. Rupanya ada sumber mata air di situ.

Kini danaunya punya sumber mata air sendiri. Airnya melimpah, memenuhi danau. Dan jernih, sejernih air mata. Tak perlu lagi air dari luar. Maka ia tutup parit-parit itu. Tak hanya memenuhi danau, sumber mata air itu menjadikan danau amat jernih. Kalaupun dikotori dari luar, ia hanya keruh sesaat untuk kemudian dengan cepat kembali jernih sejernih air mata.

Setahun berlalu, Guru Sufi tiba. Ia tersenyum puas melihat danau yang jernih sejernih air mata. Tak bisa dikeruhkan dengan adukan bambu. Tak bisa dikeruhkan dengan longsoran tanah akibat hujan.

“Apakah engkau masih memerlukan jawaban atas pertanyaanmu?” Guru Sufi menepuk bahu pemuda itu.

“Tidak, wahai Syaikh. Kini saya sudah mengetahuinya. Seperti danau ini, kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan yang bersumber dari dalam hati. Bersumber dari kelapangan jiwa. Ia tidak bahagia karena pujian orang lain, tidak pula menderita karena celaan orang lain. Kebahagiaan hakiki tidak akan menguap karena faktor luar, meskipun diaduk-aduk emosinya. Sebagaimana danau ini tetap jernih meskipun diaduk-aduk dengan bambu.”

Baca juga: Istikharah Mimpi Jodoh

Danau Sejernih Air Mata di Masa Tabi’in

Ada kisah nyata yang terjadi di masa tabi’in. Dialami oleh Ibrahim bin Adham rahimahullah. Varian lain dari danau sejernih air mata. Yang jika kita memiliki kebahagiaan hakiki, insya Allah tetap bahagia apa pun yang terjadi.

*diadposi dari novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye.

Artikel sebelumnyaKisah di Balik Lahirnya Buku Cinta Sehidup Sesurga
Artikel berikutnyaKenapa Tak Bisa Tahajud? Jawaban Imam Ghazali Ini Patut Direnungkan