Selalu ada hikmah yang bisa kita ambil dari kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya. Dalam tulisan kali ini, kita akan sedikit menelisik kisah sahabat yang Shalat Subuh dalam keadaan junub, dan ketika dilaporkan kepada Rasulullah, beliau hanya tertawa tanpa menyampaikan satu kalimat pun.
Siapakah sahabat itu? Bagaimana latar belakang kejadiannya?
Adalah sosok ‘Amr bin al-‘Ash. Ialah sahabat yang terpilih sebagai panglima dalam Perang Dzatus Salasil; nama sebuah daerah yang penduduknya bersekutu dengan Bangsa Romawi untuk menyerang kaum Muslimin. Dalam pemilihan ‘Amr bin al-‘Ash ini, ada sedikit perbedaan pendapat. Pasalnya, ketika itu ada sosok sekaliber Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Umar bin Khaththab, dan juga sosok panglima lain.
Kisahnya, malam itu, ‘Amr bin al-‘Ash menuturkan sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, “Di malam yang sangat dingin, aku mengalami mimpi basah. Aku khawatir, jika mandi, aku akan binasa.”
Lantaran ijitihadnya itulah, sebab udara yang sangat dingin dan mandi junub bisa mengakibatkan binasa, maka ‘Amr bin al-‘Ash hanya melakukan tayammum, lalu shalat bersama sahabat yang lain.
Maka seusainya perang, ‘Amr bin al-‘Ash menyampaikan apa yang dialaminya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tanya Nabi, “Hai ‘Amr, apakah engkau shalat dengan sahabat-sahabatmu dalam keadaan junub?”
Setelah sampaikan jawaban, ‘Amr menyampaikan sebab tambahan, “Aku ingat dengan firman Allah Ta’ala, ‘Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.’ (Qs. An-Nisa’ [4]: 29). Maka aku pun tayammum, kemudian shalat.”
Tulis Imam Ibnu Katsir ketika mengutip riwayat ini dalam Tafsirnya, “Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tertawa dan tidak berkata apa-apa.”
Selain diriwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal, kejadian ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Abu Daud.
Demikianlah di antara pengecualian yang pernah terjadi di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Pasalnya, dalam keadaan darurat, sesuatu yang haram pun dibolehkan untuk dimakan.
Selain itu, riwayat ini juga menjadi salah satu dalil dianjurkannya kaum Muslimin untuk menghindari sesutau yang membahayakan dirinya. Tentu, dengan pertimbangan yang bijak dan adil, bukan pendapat seenaknya hanya berdasarkan hawa nafsu. [Pirman]