Iman adalah kepercayaan yang ada dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan. Maka, iman menuntut bukti, dan bukti iman adalah baiknya amal seseorang kepada sesamanya dalam kehidupan sehar-hari.
Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah dia memuliakan tetangganya. Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah dia memuliakan tamunya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dan dimasukkan ke dalam Hadits Arba’in oleh Imam an-Nawawi rahimahullah.
Pertama, berkata baik atau diam
Menjaga lisan adalah salah satu tanda baiknya iman seseorang. Menjaga lisan masuk dalam tafsir hadits, “Di antara tanda baiknya iman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.” Lisan disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam sebagai dua hal yang menjadi jaminan keselamatan ketika dijaga setelah alat kelamin.
Di antara cara menjaga lisan adalah mengatakan yang baik saja, atau diam. Sebab, ada ucapan yang dilontarkan oleh lisan dan bisa menjadi sebab dimasukkannya seseorang ke dalam surga, pun sebaliknya. Banyak sekali ucapan seorang hamba yang justru menyebabkannya terjerumus ke dalam siksa neraka.
Syaikh Muhammad Dib al-Bugha dan Syaikh Muhyidin Mistu dalam kitab al-Wafi menjelaskan tiga adab dalam berbicara.
Pertama, mencukupkan diri dengan perkataan yang baik. Ketika tidak ada bahan pembicaraan yang bisa menjadi sebab keselamatan di akhirat, maka diam adalah pilihan terbaik.
Kedua, tidak memperbanyak pembicaraan yang diperbolehkan (mubah). Meski diperbolehkan, ketika percakapan terlalu banyak, maka dikhawatirkan membawa pelakunya ke dalam perbuatan makruh bahkan haram.
Dari Ibnu Umar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memperbanyak perkataan selain dzikrullah. Karena sesungguhnya perkataan selain dzikrullah mengeraskan hati. Sesungguhnya sejauh-jauh manusia dari sisi Allah adalah orang yang keras hatinya.” (Hr. Imam Tirmidzi)
Ketiga, diwajibkan berbicara jika dibutuhkan. Seperti, saat bersaksi untuk kebenaran, menyampaikan dakwah, diskusi untuk kemaslahatn umat, dan sebagainya. Dijelaskan oleh Syaikh Dib al-Bugha, “Tidak berbicara pada saat itu merupakan maksiat dan dosa karena diam dari kebenaran sama dengan setan bisu.” [Pirman]