Secara garis besar, para ulama membagi kesabaran dalam tiga hal; sabar dalam taat, sabar untuk tidak bermaksiat, dan sabar menerima ketentuan Allah Ta’ala. Ketiga jenis kesabaran ini, pelakunya akan mendapat balasan tanpa batas. Namun, dalam ‘Uddatush Shabirin, Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah menyebutkan satu jenis kesabaran yang sia-sia.
Apakah kesabaran yang dimaksud?
Seseorang mendatangi asy-Syibli. Serunya lemparkan tanya, “Kesabaran apakah yang paling berat bagi orang-orang yang bersabar?”
Asy-Syibli menjawab, “Bersabar di jalan Allah.”
“Bukan,” tukas penanya.
“Bersabar karena Allah,” jawab asy-Syibli kedua kali.
Sanggah penanya, “Bukan.”
“Kalau begitu,” tanya asy-Syibli, “bersabar bersama Allah.”
Untuk ketiga kalinya, sang penanya menafikan jawaban yang ditanya, “Bukan.”
“Jika demikian,” tutur asy-Syibli, “kesabaran apakah itu?”
Sang penanya menerangkan, yang paling berat adalah, “Bersabar untuk berjauhan dari Allah Ta’ala.”
Mendengar jawaban itu, tutur murid Ibnu Taimiyah ini menerangkan, “Asy-Syibli pun menjerit histeris hingga nyawanya hampir melayang.”
Itulah kesabaran yang paling berat, namun sia-sia. Ia ada pada orang yang tertutup hatinya, sehingga senang berada dalam kondisi kemalasan yang membuatnya jauh dari Allah Ta’ala. Mereka tidak berupaya melakukan ketaatan, tidak pula meninggalkan larangan-larangan Allah Ta’ala. Sebab perbuatannya itu, mereka jauh-sejauh-jauhnya dari Allah yang Mahadekat.
Tentang kesabaran jenis ini, seorang Ahli Hikmah bertutur, “Kesabaran bersama Allah adalah kesetiaan; sedangkan kesabaran untuk berjauhan dengan Allah adalah kesia-siaan.”
Menjelaskan hal ini, Imam yang juga menulis kitab Zaadul Ma’ad ini mengatakan, “Tidak ada kesia-siaan yang lebih sia-sia bagi seorang hamba daripada bersabar untuk berjauhan dari Sembahannya, Tuhannya, dan Penolongnya; yang tiada penolong selain-Nya.
Sebab, lanjutnya menerangkan, “Tiada kehidupan, kebaikan, dan kenikmatan baginya, kecuali dengan mencintai-Nya, dekat dengan-Nya, dan mengutamakan keridhaan-Nya dari segala hal.” Pungkas ‘alim yang juga menulis Kitab Ruh ini sampaikan tanya gugatan, “Kesia-siaan apakah yang lebih sia-sia daripada bersabar untuk berjauhan dari Allah Ta’ala?”
Karenanya, mari mendekat kepada Allah Ta’ala. Mari kerjakan perintah-Nya dengan kemampuan terbaik, dan jauhi semua larangan-Nya. Jika yang wajib sudah menjadi kebutuhan, lanjutkan dengan yang sunnah sebagai sebuah keutamaan. Hingga dengan ibadah-ibadah itu, Allah Ta’ala akan menjauhkan kita dari maksiat dan dosa. [Pirman]