Sayyidina ‘Umar bin Khaththab amat terkenal dengan nasihatnya yang amat melegenda, “Hisablah diri sebelum kalian dihisab.”
Muhasabah yang dikenal pula dengan evaluasi diri menduduki derajat yang tinggi dalam agama Islam. Muhasabah merupakan amalan utama para Nabi, orang shalih, para syuhada’, dan orang-orang yang benar (jujur) dalam hidupnya. Biasanya, mereka melakukan amalan ini di akhir hari, pada permulaan malam, sebelum tidur.
Imam Hasan al-Bashri, sebagaimana dikutip oleh Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam penjelasan Risalah al-Mustarsyidin tulisan Imam al-Harits al-Muhassibi, menyebutkan bahwa salah satu karakter orang yang beriman adalah bisa mengatur dirinya sendiri.
“Pada Hari Kiamat,” ungkap Imam Hasan al-Bashri menerangkan hikmah muhasabah bagi seorang mukmin, “hisab akan terasa ringan bagi orang-orang yang sudah mengevaluasi dirinya di dunia. Sebaliknya, hisab akan terasa sangat berat bagi orang-orang yang tidak mengevaluasi dirinya.”
Orang-orang yang terbiasa menilai dirinya secara jujur, dia akan menemukan kebaikan dan keburukan yang dikerjakan di sepanjang harinya. Setelah menemukan, iman yang ada di dalam sanubari mendorongnya untuk berupaya istiqamah terkait kebaikan yang telah dikerjakan, dan meminta ampun atas sekecil apa pun kesalahan yang dilakukan.
Mereka mencatat dengan baik, sehingga tidak mengulangi kesalahan yang sama di hari berikutnya. Lambat laun, kesalahan-kesalahan tersebut akan berkurang hingga berganti dengan amal shalih yang senantiasa diperbaiki; diperbanyak, ditambah keikhlasannya, dan senantiasa berdoa agar diberi keistiqamahan.
Mereka yang berhasil melakukan muhasabah secara istiqamah sampai akhir hidupnya, lalu menindaklanjutinya dengan pencegahan keburukan dan penambahan amal kebaikan, mereka akan menjadi pribadi yang dosanya diampuni, sedikit-demi sedikit dan kelak menghadap Allah Ta’ala dengan dosa yang semakin menipis.
Sebaliknya, orang yang tak pernah melakukan muhasabah tidak menyadari kesalahan dan dosa yang diperbuat sepanjang waktu. Meski dosanya menumpuk, mereka justru merasa telah berbuat baik dan layak dikelompokkan ke dalam golongan orang-orang shalih yang dosanya diampuni.
Mereka berada dalam gelimang dosa hingga akhir hayatnya. Kelak, mereka akan mengalami hisab yang amat berat sebab sedikitnya amal kebaikan yang merupakan bekal bagi kehidupan yang abadi di akhirat.
Sudahkah kita mengevaluasi diri hari ini? Manakah yang lebih mendominasi; kebaikan atau keburukan?
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]