Tersebutlah sang Guru Ngaji yang berniat membeli baju koko untuk pakaian ganti saat mengisi kajian. Bukan berniat berlebih-lebihan, beliau hanya ingin menampakkan nikmat Allah Ta’ala yang ada padanya. Maka, untuk mewujudkan niatnya itu, beliau beranjak menuju Tanah Abang. Meski kelas beliau internasional, sosok sederhana ini sengaja memilih berbelanja di tempat yang terkenal dan terbukti merakyat itu.
Setelah berkeliling mencari warna dan motif yang cocok, beliau pun menemukan jenis pakaian yang cocok dengan logo majlis yang didirikannya. Namun, belum sempat bertanya ini-itu, beliau mendengar adzan berkumandang.
“Bang,” tanyanya kepada penjaga toko, “masjid di sebelah mana ya?”
Abang yang ditanya pun mendetailkan posisi masjid yang letaknya agak jauh dari lokasi tokonya. Ketika sang Guru Ngaji tengah membayangkan lokasi yang ditunjukkan, si Abang menawarkan, “Di sini juga ada tempat shalat. Di dalam. Tetapi kecil. Hanya cukup untuk satu orang.”
Maka, lepas ucapkan terima kasih atas tawaran si Abang, sang Guru Ngaji pun berpamit untuk bergegas menuju masjid. Agar tidak tertinggal shalat berjamaah bersama imam.
Kelar shalat, beliau berniat menuju toko si Abang. Namun, saat baru mau melangkah, ada sosok yang menyapa beliau dengan doa selamat, “Assalamu’alaikum, Ustadz.”
‘Wa’alaikumus salam warahmatullahi wa barakatuh,” jawab beliau sembari lemparkan senyum manisnya dan mengulurkan tangan. Berjabat tangan.
“Maaf, Ustadz,” tutur pengucap salam, “saya salah satu jamaah kajian ustadz.”
“Alhamdulillah,” jawab sang Guru Ngaji. “Apa kabar, Pak?”
“Alhamdulillah, sehat.” jawab lelaki yang sebut saja namanya Fulan.
Sembari berjalan, keduanya pun berbincang ringan. Hingga, si Fulan menanyakan maksud keberadaan sang Guru Ngaji di pusat perbelanjaan itu.
Qadarullah, si Fulan adalah ketua Dewan Kemakmuran Masjid di salah satu lokasi belanja termurah di Ibu Kota itu. Selain itu, beliau juga memiliki beberapa toko di sana; miliknya dan istrinya. Maka, sang Guru Ngaji pun ‘dipaksa’ mengunjungi tokonya.
Sampai di tokonya, beliau menemukan baju dengan warna dan motif yang diinginkan. Kemudian, di akhir kisah, si Fulan kembali ‘memaksa’, “Ustadz gak boleh membayar. Kali ini tidak ada harganya.”
Menolak halus, sang Guru Ngaji menjawab, “Jangan begitu, Pak. Saya bayar. Ini uangnya sudah saya keluarkan.”
‘Ancam’ beliau balik, “Kalau gak mau dibayar, saya gak akan balik belanja di sini lagi.”
Dengan senyum menginspirasi, si Fulan berkata halus, “Mohon diterima, Ustadz. Anggap ini sebagai hadiah dari kami.”
Lama bernegosiasi, akhirnya sang Guru Ngaji mengalah. Demi menghormati niat baik salah satu jamaahnya itu.
Kemudian, saat mengisahkan hal itu dalam salah satu sesi santai kajiannya, sang Guru Ngaji menjelaskan, “Ini ‘gara-gara’ shalat.” Lanjut beliau, “Jika saya meneruskan belanja dan memilih menunda atau shalat di toko si Abang, barangkali ceritanya akan lain.” [Pirman/Kisahikmah]