Al-Qur’an menyebut pelaku ghibah sebagai orang yang memakan bangkai saudaranya, bahkan lebih buruk dari itu. Jika yang dibicarakan dengan orang lain tentang keburukan saudaranya, meski berupa kebenaran, itulah yang disebut ghibah. Sedangkan jika pembicaraan keburukan saudara kepada saudara lainnya tidak sesuai fakta, maka ianya termasuk fitnah.
Kini, kita dikepung dengan pembicaraan ghibah. Dari yang terang-terangan hingga yang bersifat tersembunyi sehingga jarang disadari. Ghibah telah menjadi kebiasaan di segala lini kehidupan. Dari rakyat biasa sampai pemimpin, dari kampung hingga kehidupan artis dan pesolek di tempat umum lainnya.
Ghibah yang mengerikan ini telah berubah nama menjadi gosip. Dikemas sedemikian rupa hingga terdengar merdu, terlihat menyenangkan, dan asyik dikerjakan rame-mare. Na’udzubillahi min dzalik.
Jika ada orang di sekeliling kita yang melakukan ghibah, maka kita berkewajiban mengingatkan. Jika tidak, meski hanya diam, maka kita termasuk pelaku ghibah. Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk menjauhi ghibah yang semakin merajalela ini?
Tatkala mendengar ada orang yang men-ghibah-i saudaranya, seorang Hakim Bashrah bertanya kepada pelaku ghibah, “Pernahkah engkau berperang melawan bangsa Romawi?”
Laki-laki yang ditodong tanya pun menggeleng, “Tidak pernah.”
“Apakah engkau pernah bergabung dalam pasukan kaum Muslimin melawan penjajah bangsa India atau Turki (saat India dan Turki dipimpin orang kafir memerangi kaum Muslimin)?” lanjut sang Hakim.
“Tidak pernah,” ujar laki-laki pelaku ghibah.
“Jika bangsa penjajah Romawi, India, dan Turki saja aman dari dirimu, mengapa saudaramu yang sesama muslim tidak bisa selamat dari lisanmu?” cecar sang Hakim sampaikan tanya gugatan.
“Sejak saat itu,” aku si laki-laki sebagaimana disebutkan oleh Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, “aku tidak pernah lagi men-ghibahi-i saudaraku sesama muslim.”
Dalam kisah lainnya, tersebutlah seorang imam ahli hadits, ahli zuhud, shalih, dan ahli ibadah. Namanya Abdullah bin Wahab al-Qurasyi al-Mishri. Beliau wafat tahun 197 Hijriyah, hidup satu zaman dengan Imam Malik bin Anas, Imam Sufyan ats-Tsauri, dan lainnya.
Sebagai bentuk latihan terhadap dirinya agar tidak melakukan ghibah, beliau menerapkan riyadhah yang tak biasa. Mulanya, beliau bernadzar melakukan puasa satu hari setiap kali melakukan ghibah. Namun, hal itu terasa mudah baginya. Selanjutnya, beliau pun menghukum dirinya dengan sedekah satu dirham setiap melakukan ghibah hingga sifat buruk itu benar-benar hilang dari dirinya.
Semoga Allah Ta’ala melindungi jiwa kita dari buruknya sifat ghibah ini. Aamiin.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]