Para mujahid adalah manusia biasa sebagaimana kita. Mereka bukanlah malaikat atau sekelas para Nabi. Sebagaimana kita yang kadang rasakan sedih, bahagia, dan lainnya, mereka pun kerap merasakannya di medan juang.
Laki-laki gagah yang telah mewakafkan dirinya di medan jihad ini mengalami sedih. Cadangan makanan telah habis. Sebagai pemimpin, kesedihannya bertambah. Ia berkewajiban memenuhi kebutuhan makan bagi para mujahid lainnya.
Lepas Subuh, ia termenung. Lama. Seraya menggumamkan kalimat-kalimat dzikir untuk mengusir sedih dan gulananya, laki-laki ini berpikir keras; bagaimana caranya mendapatkan makanan untuk pasukan mujahidin lainnya.
Dalam lantunan dzikirnya itu, saat putus asa mulai menyeruak, terdengarlah bisikan yang terngiang di telinganya. Lembut. Pelan. Namun, bertenaga.
“Sungguh,” bunyi suara yang entah dari mana asalnya, “Allah Ta’ala telah memberikan rezeki kepadamu sebelum engkau berjihad di jalan-Nya.”
Bukankah ini kalimat yang amat benar? Bukankah sebelum berjihad, dia dan mujahid lainnya tidak pernah merasakan kelaparan? Mungkinkah Allah Ta’ala akan membiarkan orang-orang yang memperjuangkan agama-Nya mati dalam keadaan lapar? Amat mudah bagi Allah Ta’ala untuk mendatangkan makanan bagi orang-orang yang kelak digelari syuhada’ jika ikhlas dalam berjuang meninggikan kalimat-Nya itu.
“Apakah mungkin,” lanjut suara tersebut semakin menguatkan jiwa, “Allah Ta’ala akan melupakanmu, padahal engkau telah bergegas berperang di jalan-Nya?”
Jika mereka yang kafir, musyrik, munafik, dan fasiq saja senantiasa dijamin rezekinya oleh Allah Ta’ala, mungkinkah mereka yang muslim, mukmin, dan berjihad di jalan-Nya dibiarkan tanpa secuil pun rezeki untuknya?
Semudah bagi-Nya membagikan rezeki kepada musuh-musuh-Nya, maka semudah itu pula bagi-Nya untuk melimpahkan karunia kepada pejuang-pejuang di jalan-Nya. Dia mustahil menelantarkan siapa pun yang bersungguh-sungguh dalam memperjuangkan agama-Nya.
Inilah sekelumit kisah dalam rangkaian jihad Afghanistan yang agung. Sebuah kisah nyata yang dialami oleh Jalaluddin al-Haqqani, lalu dituturkan kepada Syeikh Abdullah Azzam.
Hendaklah kaum Muslimin memperbanyak membaca kisah-kisah serupa, terutama kisah di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya. Kisah-kisah sejenis inilah yang akan membuat semangat meluap-luap dalam memperjuangkan agama-Nya yang mulia.
Sebaliknya, siapa saja yang enggan dan tak pernah membaca kisah-kisah menakjubkan di medan jihad; tiada sedikit pun semangat baginya, kecuali menumpuk dunia dan kesibukan tak bermakna lainnya. [Pirman/Kisahikmah]