Berupaya Bangkit dari Trauma

0
ilustrasi @Ranz

Bagi saya, menulis itu sulit. Puluhan hal terlintas untuk dicatat, ditulis, atau diketik. Tetapi nyatanya, jari terhenti beberapa detik sebelum kata pertama tertulis. Sungguh, ini adalah saat-saat yang paling menyebalkan. Seakan-akan jari-jemari yang Allah takdirkan selalu, insya Allah, dalam keadaan  sehat wal afiat itu mengatakan, “Seorang Niar tidak berbakat menulis. Baca sajalah buku yang kamu sukai. Tidak usah menulis. Titik.”

Dulu, dahulu kala, kira-kira dua puluh tahun lalu, saya pernah menulis cerita fiksi. Memang, kesukaan saya saat itu hingga kini adalah membaca kisah fiksi. Cerita pendek, novel, dan cerita bersambung (cerbung). Lucunya, meski sering tidak tahu cerita awalnya dan entah ketemu lagi dengan kisah selanjutnya atau tidak, saya tetap membaca cerbung tersebut.

Majalah pinjaman, koran bekas, pasti menjadi santapan sehari-hari. Kadang-kadang juga membeli, kalau ada uang. Almarhum ayah, saat kami anak-anaknya usia sekolah dasar, beberapa kali membelikan buku cerita Lima Sekawan karya Enyd Bliton. Tidak peduli baru atau bekas, buku dengan kertas khas itu pasti dilahap. Mengikuti petualangan lima saudara-saudari pada saat liburan sangat menghibur, seperti ikut liburan juga. Dan mungkin karena itulah, terpatri di hati ini ingin menulis fiksi.

Satu kisah fiksi akhirnya saya kirimkan ke salah satu majalah remaja saat itu. Hati saya, saat itu sangat senang karena bisa mengirimkan sebuah naskah cerpen. Sayangnya, kesenangan hati berubah tak lama setelah pihak majalah mengembalikan naskah.

Menurut mereka, alur cerita yang saya buat bertele-tele. Ini serius, kalau sekarang ditanya, apa tema atau judul cerpen yang saya kirimkan, saya telah melupakannya. Tetapi, yang membekas justru kritikannya. Sampai saat ini, kata-kata ‘bertel-tele’ masih terngiang-ngiang melebihi daya ingat terhadap cerpen itu sendiri. Saya trauma.

Kembali ke zaman now, cita-cita menjadi penulis fiksi seperti terkubur diam-diam. Sehari-hari hanya bisa menikmati karya para novelis beken yang namanya melambung di dunia kepenulisan. Sebut saja Kang Abik, Asma Nadia, Andrea Hirata.

Ah iya, mereka yang tulisannya sangat dinanti-nanti penggemarnya itu pasti tidak sekonyong-konyong menjadi penulis. Banyak hal sudah mereka lalui. Lantas, kenapa saya tidak berusaha mencari tahu apa rahasia mereka?

Saya sebagai penulis pemula yang memiliki masa lalu tak indah dengan menulis, sudah tidak banyak bermimpi lagi bisa menelurkan tulisan-tulisan cantik menjadi bersemangat setelah mengetahui info adanya kelas Belajar Menulis Online, kemudian mengikutinya. Semoga impian saya bukan sekadar angan-angan. Semoga suatu ketika, tulisan fiksi yang saya rilis menjadi inspirasi banyak orang. Menjadi wasilah dalam menggapai hidayah-Nya.  Semoga. Aamiin. [Niar-Belajar Menulis Online]

Artikel sebelumnyaTetap Semangat Menulis di Usia Senja
Artikel berikutnyaAgar Tidak Terhina Dunia Akhirat karena Hutang, Lakukan 7 Hal Ini