Hari-hari ini kita disuguhi akrobat kesombongan oleh sekelompok oknum. Baik yang beragama Islam maupun bukan dari Islam. Mereka bersikap pongah. Sombong. Menolak kebenaran. Bahkan memanipulasinya.
Mereka merasa paling benar hanya karena berkuasa. Mulut mereka melontarkan cacian. Bukan hanya kepada kaum Muslimin, tetapi juga kepada al-Qur’an yang mulia dan ulama-ulama yang menjadi pewaris para Nabi.
Kejadian ini membuat kita teringat dengan satu episode kesombongan penguasa bernama Fir’aun. Kepadanya diutuslah Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihimas salam. Fir’aun diajak untuk beriman, tapi ingkar. Bukan hanya ingkar, Fir’aun menuduh Nabi Musa ‘Alaihis salam sebagai tukang sihir dan mengaku sebagai Tuhan.
Mula-mula, Fir’aun mengingkari kekalahan tukang sihir bayarannya. Ia lantas menuduh tukang sihir telah bersekutu dengan Nabi Musa ‘Alaihis salam. Para tukang sihir beriman kepada Allah, Fir’aun menghukum mereka dengan salib dan potong anggota tubuh secara bersilangan.
Selepas kejadian itu, Allah Ta’ala menghukum Fir’aun dan kaumnya dengan kemarau yang sangat panjang.
Fir’aun kembali mendatangi Nabi Musa dan memintanya agar berdoa, supaya kemarau diganti dengan musim hujan yang menghidupkan segala jenis tumbuhan. Doa Musa ‘Alaihis salam dikabulkan, kemarau pun sirna.
Setelah itu, Fir’aun kembali ingkar. Ia menolak beriman.
Allah Ta’ala pun kembali menurunkan siksa berupa belalang aneh. Belalang ini memakan semua jenis tanaman sampai bangunan (pintu dan rumah) yang terbuat dari besi. Semua dilahap habis oleh belalang tersebut.
Fir’aun kembali mendatangi Nabi Musa ‘Alaihis salam. Meminta agar ia berdoa.
Dasar keras kepala, setiap kali doa Musa ‘Alaihis salam dikabulkan, Fir’aun kembali menentang Allah Ta’ala. Fir’aun kembali ingkar. Kesombongannya bangkit kembali.
Secara berturut-turut, Allah Ta’ala pun menurunkan siksa berupa kutu yang ada di setiap tempat sampai di makanan dan tubuh hingga mereka tidak bisa tidur, kemudian dihilangkan setelah Nabi Musa ‘Alaihis salam berdoa dan diganti dengan katak yang memenuhi seluruh ruangan dan tempat sampai tempat saji makanan karena mereka kembali ingkar kepada Allah Ta’ala.
Pangkalnya, Allah Ta’ala menjadikan semua air bersih sebagai darah untuk mereka. Imam Muhammad bin Ishaq bin Yasar sebagaimana dikutip oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya mengatakan, “Mereka tidak dapat mengambil air dari sumur dan sungai. Mereka tidak menciduk air dari bejana, melainkan langsung menjadi darah segara.”
Kisah ini seharusnya menyadarkan kita. Jika tidak gegas hentikan kepongahan hanya karena puasa kuasa, bersiap-siaplah. Jika tidak lekas bertaubat atas kesombongan ucap dan tingkah, amat mudah bagi Allah Ta’ala untuk mengulang azab yang ditimpakan kepada Fir’aun ini.
Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari fitnah dan goda setan yang amat terkutuk. Aamiin.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]