Lanjutan dari “Aku Suka Padamu, Layanilah Aku”
“Andai saat ini dirimu melewati jembatan shirath dan kau tidak mengetahui akan terjatuh atau selamat, bersediakah jika engkau aku layani?”
“Tentu saja tidak.” jujur sang wanita untuk ketiga kalinya.
Setelah menyampaikan bahwa jawaban si wanita jujur, Imam Ubaid bin Umair berkata, “Apabila saat ini amalmu ditimbang dan engkau tidak mengetahui ia akan berat atau ringan, bersediakah jika aku melayanimu?”
“Tentu saja tidak!” tukas si wanita. Suaranya kian meninggi.
“Engkau jujur. Andaikan saat ini engkau berdiri di hadapan Allah Ta’ala untuk mempertanggungjawabkan seluruh amal di hadapan-Nya, sudikah engkau jika aku melayanimu?” tanya sang imam untuk kelima kalinya.
“Tentu saja tidak.” ujar si wanita.
“Wahai hamba Allah,” tutur sang Imam, “bertaqwalah kepada Allah Ta’ala karena Dia telah memberimu berbagai nikmat dan berbuat baik kepadamu.”
Seketika itu juga, sang wanita berlari. Pulang ke rumahnya dalam kondisi perasaan yang bercampur. Sampai di rumah, si suami bertanya, “Apa yang telah kau lakukan (kepada Imam Ubaid bin Umair)?”
“Engkau orang lalai!” teriak si wanita. “Kita semua orang lalai!” pungkasnya dengan nada tinggi, lalu menuju kamarnya.
Sebagaimana dikisahkan oleh Abu Abdillah yang dikutip oleh Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam menjelaskan Risalah al-Mustarsyidin tulisan Imam al-Harits al-Muhasibi, peristiwa itu sangat membekas di hati sang wanita. Ia pun berubah menjadi pribadi yang rajin mendirikan shalat, berpuasa, dan tekun beribadah.
Sang suami turut menyampaikan kesaksian. Dia benar-benar merasakan perbedaan yang amat mencolok dalam kepribadian istrinya. Katanya dengan nada bingung, “Apa pula yang telah dilakukan oleh Ubaid bin Umair? Dia telah merusak istriku.”
Lanjutnya sampaikan penuturan, “Dahulu, setiap malam aku merasa seperti pengantin baru. Sekarang, dia mengubah istriku menjadi rahib.”
Kisah ini pasti langka di zaman ini. Bahkan ada begitu banyak mereka yang bergelar tokoh agama, berpendidikan tinggi, dan gelar kehormatan lainnya, tapi justru menjadi pelaku keburukan lantaran tak kuasa menjaga apa yang ada di antara dua pahanya.
Barangkali, jika wanita itu masih hidup dan menggoda layaknya godaan yang dia berikan kepada Imam Ubaid bin Umair, maka banyak sekali laki-laki yang mendaftar untuk digoda pada kesempatan berikutnya.
Sungguh, dalam kisah ini juga terdapat pelajaran bagi siapa pun yang diberi nikmat kecantikan dan pesona fisik lainnya. Hendaknya bersyukur kepada Allah Ta’ala dengan senantiasa beribadah kepada-Nya, bukan menggunakan nikmat di jalan keburukan, dosa, dan maksiat.
Amat disayangkan jika kecantikan menjadi sebab dijerumuskan ke dalam neraka.
Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari bisikan setan yang amat terkutuk.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]