Tersebutlah seorang wanita cantik jelita di zamannya. Laki-laki di zaman itu mengomentari kecantikan sang wanita bak rembulan yang bersinar dan pujian-pujian lain yang menggambarkan sempurnanya pesona kecantikannya.
Ketika sedang mematut diri di depan cermin sembari memuji kecantikan dirinya, wanita ini bertanya kepada sang suami, “Adakah laki-laki di dunia ini yang tidak tertarik dengan kecantikanku?”
Tak disangka, sang suami menjawab, “Ada.”
“Siapa dia?” tanya si istri. Penasaran.
“Ubaid bin Umair.” jawab suaminya.
“Jika demikian, izinkan aku menggodanya.” pinta si wanita.
“Aku memberimu izin.” jawab si laki-laki.
Dengan pesona terbaik dan dandanan yang paling mempesona, si wanita segera mendatangi Imam Ubaid bin Umair. Beliau merupakan salah satu tabi’in terbaik yang ‘alim, zuhud, ahli ibadah, dan faqih. Biacaranya fasih, taujihnya amat menyentuh. Tiada yang meluncur dari lisannya, kecuali hikmah yang menyejukkan jiwa.
Sesampainya di Masjidil Haram, wanita ini berkeliling. Mencari sang Imam. Lama mondar-mandir, dia menemukan sang Imam di salah satu sudut masjid sedang bermunajat kepada Allah Ta’ala.
Saat si wanita belum menggoda, Imam Ubaid bin Umair berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah, bertaqwalah kepada Allah.”
Sengaja menantang, si wanita justru melontarkan kalimat rayuan kepada sang Imam. Katanya mendayu, “Aku suka padamu. Layanilah aku.”
Sang Imam lantas mengajukan syarat. Tuturnya, “Aku ingin bertanya kepadamu. Jika kau menjawab dengan jujur, aku akan melayanimu.”
“Setiap pertanyaanmu,” jawab si wanita, “pasti akan kujawab dengan jujur.”
“Jika saat ini malaikat maut datang dan mencabut nyawamu, sukakah jika aku meladenimu?” tanya sang Imam. Pertama kali.
“Tentu saja, aku tidak suka.” sahut sang wanita.
“Engkau jujur,” tukas sang Imam, lalu melanjutkan dengan pertanyaan kedua.
“Jika sekarang dibagikan catatan amal kepada seluruh manusia, sementara kamu tidak mengetahui akan diberi catatan amal dari arah kanan atau arah kiri, bersediakah jika aku melayanimu (untuk berbuat zina)?”
“Tentu saja tidak,” jawab si wanita. Lugas.
“Engkau jujur.” ujar sang Imam, dilanjutkan dengan pertanyaan ketiga.
“Andai saat ini dirimu melewati jembatan shirath dan kau tidak mengetahui akan terjatuh atau selamat, bersediakah jika engkau aku layani?”
“Tentu saja tidak.” jujur sang wanita untuk ketiga kalinya.
Setelah menyampaikan bahwa jawaban si wanita jujur,
Bersambung ke “Aku Suka Padamu, Layanilah Aku” (2-Habis)