Ibu meninggal ketika saya berumur sepuluh tahun. Ayah seorang Pegawai Negeri Sipil berusia muda. Kalau saya pikirkan kembali, ada sedih, sepi dan bingung karena ditinggal bersama empat anak saat usia belum baligh bersama nenek dan kakek.
Dengan pertimbangan tertentu, saya dan adik-adik pulang kampung untuk meneruskan sekolah. Agak berat mengharapkan beliau mampu mengurus kami sekeluarga, terutama karena dua adik yang paling kecil masih berusia balita.
Alhamdulillah, meski tidak dilimpahi harta, kakek dan nenek membesarkan kami dengan penuh kasih sayang. Kakek seorang petani. Petani desa tentu berbeda dengan pertanian intensif di Jawa.
Bertani di desa kami dengan pergi ke hutan, menanam tanaman umur panjang sejenis rempah, seperti cengkih dan pala. Tanaman-tanaman ini dibiarkan tumbuh sendiri tanpa perlakuan dan perawatan khusus.
Ketika mendekati musim panen, mereka dibersihkan dari ranting yang mengganggu proses panen. Pada jeda waktu antara penanaman dan pemanenan, kakek biasanya merambah hutan dan mengumpulkan hasil tanaman lain yang bisa menghasilkan bahan makanan dan bisa dijual seperti kenari, durian, sayuran, talas, dan daun rumbia yang bisa dijadikan atap.
Setelah remaja, sebenarnya saya dilanda iri kepada mereka yang masih memiliki ibu. Saya tumbuh menjadi pribadi introvert, tertutup, dan susah bergaul. Bukan karena tidak bisa, melainkan karena rasa sedih terpendam dalam diri saat melihat teman-teman lain berlimpah kasih sayang orang tua.
Sedangkan saya, walau sangat dicintai kakek dan nenek, tetapi harus sadar, mereka sudah berumur, mereka letih mengurus kami dan tidak pantas direcoki dengan pertanyaan dan pernyataan khas remaja yang mengendap di hati dan otak saya.
Akhirnya, saya menuliskan semua pertanyaan dan perasaan pada lembaran kertas atau sisa buku catatan pelajaran yang masih kosong.
Dalam pemikiran belia saya, kalau tak bisa bertanya atau menyatakan, paling tidak saya bisa menuliskan semua itu di sehelai kertas untuk dicari jawabannya, entah lewat buku atau orang yang lebih tahu. Meskipun tak tahu kapan.
Selain itu, menulis bagi saya merupakan terapi gratis. Semakin dewasa saya belajar melupakan perlakuan menyakitkan yang pernah saya terima dengan menuliskannya, runut, dan lengkap. Setelah itu, saya merasa lega.
Sesudah menulis selalu ada kelegaan tersendiri yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Sesudah bisa membeli buku sendiri, saya menuliskan agenda sehari-hari, tanpa kecuali. Apa pun yang dialami, saya tuangkan dalam buku itu.
Dengan menulis, saya menghindari kemungkinan mencurahkan isi hati pada orang lain. Karena curahan hati kadang-kadang membuka pintu menuju hal-hal yang tidak diinginkan, seperti gosip dan ghibah. Saya belajar untuk menyimpan rapat apa yang terjadi pada diri saya. Karena tidak semua orang bisa dipercaya.
Belakangan, saya ingin agar bisa bermanfaat bagi orang lain. Secara materi, saya belum berpunya. Maka secara sederhana, semoga apa yang saya curahkan dalam tulisan bisa bermanfaat bagi orang lain.
Semoga kelak tulisan-tulisan saya bisa menghasilkan pahala bagi diri saya, dan memberi motivasi bagi mereka yang membutuhkan. Hal itu merupakan kebahagiaan tak ternilai.
Entah kapan masanya, saya percaya, hari itu akan tiba. [Nabe Y-Peserta Belajar Menulis Online]