Tersebutlah seorang shalih dan ‘alim yang wafat di tahun 163 Hijriyah. Namanya Ibrahim bin Thahman. Ketika beliau wafat, generasi-generasi di masa itu berkata, “Tiada lagi sosok yang mampu menggantikannya (dalam keilmuan dan keshalihan).”
Suatu hari, Imam Ahmad bin Hanbal tengah menderita sakit. Beliau hanya bersandar sebab tak mampu duduk. Disebutkan dalam riwayat lain, beliau hanya berbaring. Lemah. Sedikit bahkan hampir tiada daya.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu Muflih al-Hanbali, Imam adz-Dzahabi, dan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, datanglah Abu Zur’ah ar-Razi. Beliau hendak menjenguk Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam rombongan penjenguk itu, satu di antaranya menyebut nama Ibrahim bin Thahman Rahimahullah.
Tutur Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam pengantar Risalah al-Mustarsyidin tulisan Imam al-Harits al-Muhassibi, “Ketika mendengar nama Ibrahim bin Thahman disebutkan, tiba-tiba Imam Ahmad bin Hanbal duduk sambil berujar, ‘Tidak pantas jika disebutkan nama orang shalih, tapi kita hanya berbaring saja.’”
Sebuah adab yang mengagumkan. Sebuah teladan yang membuat kita iri. Begitulah seharusnya kita bersikap kepada orang-orang yang shalih. Bukan mengkultuskan, tapi berlaku yang semestinya kepada mereka yang telah menjadi generasi penerus kebenaran, kepada mereka yang telah berperan mengantarkan hidayah kepada sebanyak mungkin orang di muka bumi ini.
“Ulama-ulama besar,” demikian diterangkan oleh Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, “tatkala menyebut nama orang shalih di majlisnya, mereka duduk dengan sikap sopan dalam rangka menghormati kedudukan orang-orang shalih. Meskipun, orang-orang shalih itu tidak ada di majlis tersebut.”
“Paling tidak,” lanjut Syeikh asal Suriah ini, “setidaknya kita mendoakan agar Allah Ta’ala merahmati mereka, jika tidak sempat bersikap sopan saat mendengar nama mereka disebutkan.”
Selain menjadi sebab diturunkannya rahmat tatkala menyebut nama orang-orang shalih, ada kesan mendalam ketika nama mereka dirapal. Ialah rasa cinta, ungkap syukur, perlambang bangga, dan niat tulus untuk meneladani.
Inilah kerinduan yang tulus. Cinta yang murni. Kasih yang tersambung, meski berbeda zaman. Kelak, orang-orang beriman akan dikumpulkan bersama para pendahulunya hingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]