Abdullah bin Amr bin Haram adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Sebagai seorang sahabat dari kaum Anshar, Abdullah berasal dari suku Khazraj keturunan Bani Salimi.
Ayahnya adalah Amr bin Haram bin Tsaʻlabah bin Haram. Banyak yang memanggil Abdullah dengan nama kunyah Abu Jabir karena putranya, Jabir bin Abdullah, yang kemudian menjadi salah satu perawi hadis terkenal.
Abdullah termasuk dalam mereka yang berjanji setia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada Baiat Aqabah kedua, sebuah peristiwa bersejarah di mana kaum Muslimin dari Madinah menyatakan ikrar mereka untuk melindungi Nabi dari segala ancaman.
Pada pertemuan tersebut, ia terpilih sebagai satu dari dua belas pemimpin yang mewakili kaumnya. Keberanian dan kesetiaan Abdullah terlihat jelas sejak awal; ia berperan besar dalam membela agama Islam dan tidak gentar menghadapi kaum musyrikin.
Mengikuti Perang Badar
Dalam Perang Badar, Abdullah turut serta sebagai bagian dari pasukan Muslim yang menghadapi kaum Quraisy. Dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan bagaimana pertolongan Allah datang dalam bentuk kemenangan yang mengalahkan para pemimpin Quraisy seperti Abu Jahal, Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, al-Walid bin Utbah, dan Umayyah bin Khalaf.
Peristiwa ini tidak hanya membuktikan kekuatan pasukan Muslim yang penuh semangat dan keberanian, tetapi juga memperkuat keyakinan Abdullah akan pertolongan Allah bagi mereka yang setia di jalan-Nya.
Baca juga: Abdullah bin Abu Bakar
Wasiat Sebelum Perang Uhud
Sebelum menuju medan Perang Uhud, Abdullah memberikan sebuah amanah kepada putranya, Jabir bin Abdullah. Dalam percakapan yang hangat dan penuh kasih, Abdullah menyampaikan firasatnya bahwa ia mungkin akan menjadi orang pertama yang gugur dalam peperangan ini. Ia pun berpesan kepada Jabir untuk melunasi segala hutangnya dan mengajarkan kebaikan kepada saudara-saudaranya.
“Anakku, aku sudah mengira bahwa aku akan menjadi orang pertama yang gugur dalam perang. Demi Allah, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tak ada seorang pun yang lebih kucintai selain engkau. Jika aku punya utang maka bayarkan utangku! Dan ajari saudara-saudaramu kebaikan!” kata Abdullah kepada Jabir.
Pesan tersebut meninggalkan kesan mendalam di hati Jabir, yang kemudian berjuang untuk melaksanakan wasiat sang ayah.
Baca juga: Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul
Abdullah bin Amr bin Haram Syahid di Medan Uhud
Keyakinan Abdullah bahwa ia akan gugur dalam Perang Uhud terbukti benar. Dalam pertempuran itu, Abdullah bin Amr bin Haram menjadi syahid pertama dari pihak Muslim. Kaum musyrik memperlakukan jenazahnya dengan kejam; hidung dan telinganya dipotong sebagai bentuk penghinaan. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghormati jasad Abdullah dengan memerintahkan untuk menguburkannya bersama saudara iparnya, Amru bin al-Jamuh, dalam satu liang lahad.
Jabir bin Abdullah, putra Abdullah, tak dapat menahan kesedihannya melihat keadaan jenazah ayahnya. Meski banyak yang melarangnya untuk menangis, Rasulullah tidak melarang Jabir dan bibinya, Fatimah bint Amr, untuk mengekspresikan kesedihan mereka.
Rasulullah bersabda, “Menangis atau pun tidak menangis, para malaikat selalu menaunginya dengan sayap-sayap mereka hingga kalian mengangkatnya.”
Baca juga: Abdullah bin Abbas
Kehormatan untuk Bertemu Allah
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menenangkan Jabir yang masih dirundung kesedihan. Ketika Jabir mengungkapkan bahwa ayahnya telah meninggalkan banyak utang, Rasulullah menghiburnya dengan berita tentang kemuliaan ayahnya di hadapan Allah.
Rasulullah menjelaskan bahwa Allah berbicara langsung dengan Abdullah bin Amr bin Haram tanpa hijab, suatu kemuliaan yang luar biasa karena biasanya Allah berbicara kepada para nabi dan manusia dari balik hijab. Dalam percakapan itu, Allah berkata kepada Abdullah, “Hai hamba-Ku, mintalah kepada-Ku, pasti Kuberikan.”
Abdullah pun meminta agar ia dapat kembali ke dunia untuk syahid sekali lagi di jalan Allah. Namun, Allah berfirman bahwa ketetapan-Nya sudah berlaku bahwa siapa pun yang telah mati tidak akan kembali ke dunia.
Merasa puas, Abdullah kemudian memohon agar Allah menyampaikan kabar kebahagiaannya ini kepada kaum Muslimin yang masih hidup. Maka, Allah menurunkan firman-Nya:
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Dan jangan sekali-kali engkau mengira orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. (QS. Ali Imran: 169)
Baca juga: Abbad bin Bisyr
Pelajaran dari Abdullah bin Amr bin Haram
Kisah hidup dan pengorbanan Abdullah bin Amr bin Haram mengajarkan kita tentang keimanan, keberanian, dan ketulusan dalam membela agama Allah. Sebagai seorang sahabat yang rela mengorbankan nyawanya demi Islam, ia telah mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah hingga mendapat kehormatan berbicara langsung dengan-Nya. Abdullah bin Amr bin Haram menjadi contoh bagaimana setiap Muslim seharusnya siap mengorbankan diri, harta, dan jiwa demi mencapai ridha Allah.
Kisahnya tetap hidup sebagai inspirasi dan motivasi untuk menjaga iman dan menghadapi ujian hidup dengan keteguhan hati. Abdullah bin Amr bin Haram, sahabat yang diberkahi, semoga Allah merahmatinya dan menempatkannya di surga bersama para syuhada. [Kisah Hikmah]