Dalam kondisi tertentu, sebuah amalan bisa bernilai lebih baik dari amalan lain. Sedangkan dalam kondisi lain berlaku sebaliknya. Inilah di antara bentuk kesempurnaan Islam, sehingga seseorang bisa senantiasa mengupayakan amal terbaik dalam banyak aktivitas yang berbeda.
Imam al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Berfikir sejenak lebih baik dari bangun untuk shalat malam.” Artinya, berfikir untuk kemaslahatan umat bagi seorang pemimpin, atau memikirkan hukum terhadap sebuah perbuatan yang diperselisihkan bagi seorang ulama’, atau memikirkan tentang kebesaran Allah Ta’ala.
Sedangkan shalat malam yang dimaksud adalah shalat malam yang didirikan karena ingin dipuji, tidak disertai keikhlasan dan hadirnya hati, dan shalat malamnya orang-orang yang lalai dari mengingat Allah Ta’ala.
Berpikir secara mendalam memiliki kedudukan spesial dalam Islam. Ia menjadi salah satu ciri orang-orang yang berakal (Ulul Albab) sebagaimana disebutkan dalam surat Ali ‘Imran [3] ayat 190-191.
Imam Ibnu Katsir menafsirkan Ulul Albab sebagai, “Mereka yang mempunyai akal yang sempurna lagi bersih, yang mengetahui hakikat banyak hal secara jelas dan nyata.”
Generasi Ulul Albab senantiasa memikirkan apa yang ada di langit dan bumi. Mereka, tulis Ibnu Katsir, “Memahami apa yang terdapat pada keduanya (langit dan bumi) dari kandungan hikmah yang menunjukkan keagungan Allah Ta’ala, kekuasaan-Nya, keluasan ilmu-Nya, hikmah-Nya, pilihan-Nya, dan rahmat-Nya.”
Sosok Luqman al-Hakim yang bijaksana memberi nasihat tentang keutamaan berpikir ini, “Sesungguhnya menyendiri dalam waktu yang lama akan mengilhamkan untuk berpikir. Dan berpikir dalam waktu yang lama (tentang kekuasaan Allah Ta’ala) adalah jalan-jalan menuju pintu surga.”
Al-Hasan, menjelaskan makna berpikir dengan mengatakan, “Ia adalah cermin yang menunjukkan kebaikan dan kejelekan-kejelekanmu.” Muhasabah, inilah makna berpikir menurut al-Hasan. Ialah kondisi merenungi diri, memikirkan apa yang dikerjakan dalam kurun waktu tertentu, lalu berhitung; apakah amal shaleh yang mendominasi, atau sebaliknya.
Selain itu, menurut Sufyan bin Uyainah, “Berpikir merupakan cahaya yang masuk ke dalam hatimu.” Ialah memikirkan kekuasaan Allah Ta’ala atas diri kita dan alam semesta; bahkan di dalam diri saja terdapat nikmat yang sangat banyak dan tidak mungkin dibincang satu persatu.
Di antara puncaknya, sebagaimana dikatakan oleh Nabi ‘Isa ‘Alaihis salam, “Berbahagialah bagi orang yang lisannya senantiasa berdzikir, diamnya selalu berpikir, dan pendapatnya mengandung ibrah (pelajaran).”
Pantas saja, di dalam al-Qur’an terapat banyak pertanyaan, “Apakah kamu tidak berpikir?”, “Apakah kamu tidak memperhatikan?”, dan kalimat lain yang maknanya serupa. [Pirman]