Waspadai Kebohongan Dukun Berkedok Dokter

0
Dukun @baltyra
Dukun @baltyra
Dukun @baltyra

Rasulullah Saw sudah mewani-wanti umatnya untuk tidak berinteraksi apalagi percaya kepada dukun. Mereka adalah duta setan yang disebar di segala penjuru bumi untuk menyesatkan manusia dari jalan kebenaran. Sayangnya, meski zaman disebut semakin maju, dukun masih dipercaya bahkan menunjukkan kemajuan cara berpromosi dan membuka praktik.

Sebut saja nama Joyo. Warga Yogyakarta. Beliau menderita katarak. Karena sudah umur dan memang memiliki riwayat diabetes. Sudah sekian banyak jalan berobat ditempuhnya, mulai yang logis hingga aneh-aneh. Mulai yang modern hingga tradisional, tentu disesuaikan dengan kondisi kantongnya.

Saking tinggi hasratnya untuk sembuh, hampir setiap rekomendasi dilakukannya demi kembalinya penglihatan seperti sedia kala. Bukankah mata adalah tiang yang dengannya seseorang bisa menikmati indahnya dunia dan aneka ciptaan Allah Swt?

Maka ketika di komplek perumahannya ada oknum yang membuka praktik pengobatan dengan label herbal, tradisional dan sejenisnya, ia langsung tertarik dengan harapan sembuh yang semakin membuncah. Apalagi, banyak selebaran berisi testimoni yang disebarkan di sekitar tempat praktik. Penasaran dan harapannya untuk sembuh semakin tak terbendung.

Apalagi di tempat praktik itu tidak dibebani tarif. Semua boleh berobat. Bahkan jika hanya memberi seribu rupiah pun, akan diterima dan dilayani dengan baik. Maka Joyo semakin semangat bergegas menuju tempat praktik itu.

Sesampainya di sana, selepas antri cukup lama, namanya dipanggil. Dilakukanlah pemeriksaan oleh petugas beberapa saat. Setelah itu, petugas itu masuk ke ruangan tempat pimpinan dan ‘dokter’ utama. Rupanya, ketika keluar, petugas itu hanya membawa gelas berisi ar bening. Dengan didahului bacaan ‘doa’, terapi pun dilakukan. Mata si Joyo diusap-usap dengan air tersebut.

Sebagaimana diceritakan si Joyo, “Sampai airnya habis, mata saya tetap kabur ketika digunakan untuk melihat,” ujarnya sambil terkekeh.

Oleh petugas, ia diminta datang kembali setelah beberapa hari. Sama sekali tak ada perubahan. Karena jumlah pasien semakin banyak dan ia harus diberi perlakuan khusus, oleh petugas namanya diletakkan di antrian paling belakang.

Dengan santai sebab berharap sembuh, Joyo pun mengiyakan perlakuan petugas tersebut. Tepat setelah tidak ada pasien lain, ia dipersilakan masuk ke ruang ‘dokter’. Setelah duduk dengan sempurna, sang ‘dokter’ memulai, “Mata bapak ini sudah parah.” Setelah berhenti sejenak sembari membenarkan posisi duduknya, ia melanjutkan, “Sebabny, karena mata bapak sudah terlalu sering diobark-abrik oleh dokter,” santai ujarnya sembari melirik kepada pasien di depannya.

Dengan menahan kaget mendengar kata ‘diobrak-abrik’, Joyo memberanikan diri bertanya, “Lalu, apa solusinya, Mbah?” Rupanya, ‘dokter’ itu terbiasa dipanggil ‘Mbah’, bukan ‘Dok’.

“Saya bisa menyembuhkan bapak. Tapi….” hentinya sembari menyeruput minuman, lanjutnya, “Ada biayanya. 3,6 juta.”

Persis seperti cuaca yang tak menentu. Sebentar hujan, tiba-tiba panas. Baru saja panas terik, tetiba hujan turun. Begitu pula praktik terselubung tersebut. Kemarin masih gratiis, bahkan boleh membayar seribu rupiah, kini sudah dibandroli dengan harga 3,6 juta. Jika itu dilakkan di rumah sakit, tentu ada rinciannya. Untuk kamar, obat, dokter, pelayanan dan sebagainya. Namun, tidak demikian di temat ini. Boro-boro ada rincian!

Memang, hasrat untuk sembuh bagi mereka yang sakit harus ditumbuhkan terus menerus. Namun, tetap harus diingatkan untuk berpikir logis dalam menentukan akan berobat ke mana. Karena, di era banjir informasi seperti ini, kevalidan seringkali menjadi fatamorgana. Bahkan, ada banyak yang langsung menyatakan bawa sebuah pengobatan valid hanya karena iklannya ditayangkan ditelevisi. Padahal, untuk beriklan cukup dengan uang. Bukan kredibiltas.

Semoga sahabat semuanya diberi kesehatan dan disembuhkan bagi yang menderita sakit. [Pirman]

Artikel sebelumnyaTertawa di Atas Penderitaan Sang Ibu
Artikel berikutnyaMalaikat Pun Bingung Menuliskan Pahala bagi Pengucap Kalimat Ini