Pada suatu musim haji, Imam Ahmad bin Hanbal menunjukkan kelasnya sebagai seorang ulama yang rendah hati. Dengan kedalaman ilmu dan jernihnya spiritual sang imam yang menjadi rujukan para penganut mazhab Hanbali ini, beliau menunduk dengan hormat saat mendapati pengajaran terkait salah satu bab haji. Padahal, yang mengajarinya hanyalah seorang tukang cukur.
“Berapakah yang harus kubayarkan kepadamu?” tanya Imam Ahmad kepada seorang lelaki yang saban hari mewakafkan waktunya untuk membantu jamaah haji menyempurnakan proses tahallul dalam ibadah haji.
“Duduklah,” jelas sang tukang cukur setelah sebelumnya mengatakan, “Semoga Allah Ta’ala memberimu petunjuk. Sungguh, ibadah tidak disyaratkan tarifnya.”
Menyadari kekeliruan pertanyaannya, Imam Ahmad pun salah tingkah hingga dirinya duduk menghadap ke arah selain kiblat. Sang tukang cukur pun menolehkan badan sang imam hingga sempurna menghadap ke arah kiblat.
Lepas ditolehkan hingga menghadap ke arah kiblat, rupanya Imam Ahmad melakukan kekeliruan berikutnya. Beliau memberikan sisi kiri dari kepalanya untuk dipotong rambutnya. “Berikanlah bagian kananmu terlebih dahulu,” tutur sang tukang cukur. “Sebab,” terangnya kemudian, “mendahulukan yang kanan adalah sunnah.”
Tanpa protes, sang imam pun mengikuti arahan si tukang cukur.
Ketika prosesi potong rambut dimulai, rupanya sang Imam berpikir tentang apa yang baru saja dilakukannya. “Kenapa engkau diam, wahai hamba Allah?” tanya sang tukang cukur membuyarkan lamunan Imam Ahmad. “Demi Allah,” tutur sang tukang cukur, “bertakbirlah.”
Sosok penulis kitab Musnad ini pun bertakbir hingga selesai prosesi cukur rambut. Setelah kelar dan bergegas pergi, sang tukang cukur menegurnya, “Hendak pergi ke mana, wahai hamba Allah?”
“Menuju kendaraanku,” jawab sang imam lugas.
“Shalatlah dua rakaat terlebih dahulu,” katanya, “lalu pergilah ke mana pun kau kehendaki.”
“Dengan penuh syukur atas ilmu yang baru kuketahui,” tutur Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana dikutip oleh Salim A. Fillah dalam Lapis-Lapis Keberkahan, “aku pun shalat dua rakaat.”
Selesai ucap salam, Imam Ahmad pun berbisik; sosok yang telah mencukur rambutnya, bukanlah pribadi biasa. Maka, beliau pun memberanikan diri untuk bertanya.
“Wahai saudara Arab,” tanya Imam Ahmad, “dari siapakah kau mendapatkan ilmu manasik ini?”
“Demi Allah,” jelas sang tukang cukur, “aku mendapatinya dari Atha’ bin Abi Rabah.” Lalu sang tukang cukur pun mengamalkan manasik tersebut, dan mendakwahkannya kepada jamaah haji lain yang menggunakan jasa potong rambutnya itu. [Pirman/Kisahikmah]