Dahyun bin Rasyid tengah menjalankan ibadah di kota Nabi, Madinah al-Munawwarah. Di tengah rangkaian perjalanan spiritual yang dijalankannya, datanglah seorang laki-laki tak dikenal.
“Adakah di sini orang yang berasal dari Afrika?” tanya si laki-laki tak dikenal.
“Aku sendiri,” jawab Dahyun bin Rasyid.
“Apakah engkau berasal dari daerah Kairouan?” lanjut si laki-laki.
“Iya. Aku berasal dari sana.” ujar Dahyun bin Rasyid.
“Jika demikian, engkau pasti mengenal Buhlul bin Rasyid?” tanya si laki-laki untuk terakhir kalinya.
“Ya. Aku mengenalnya.” pungkas Dahyun membenarkan.
Laki-laki ini pun menyampaikan secarik kertas. Sebuah surat. Katanya sebelum pamit, “Sampaikan surat ini kepada Buhlul bin Rasyid.”
Setelah sampai di Kairouan Afrika, surat itu segera diberikan kepada Buhlul bin Rasyid. Surat itu berasal dari seorang pezina dari daerah Samarkand di Khurasan.
“Aku ini wanita pezina. Aku telah melakukan perbuatan paling hina yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun selain aku. Lantas, aku bertaubat kepada Allah Ta’ala.
Aku pun mencari-cari para ahli ibadah di seantero bumi Allah ini. Lantas, aku diberi tahu empat nama, salah satunya adalah Buhlul di Afrika.
Demi Allah, wahai Buhlul, doakanlah aku. Berdoalah agar Dia senantiasa membuka pintu ampunan-Nya untuk aku.”
Sesaat setelah membaca surat dari pezina ini, Imam Buhlul yang merupakan salah satu murid terbaik Imam Malik bin Anas dan sosok ‘alim, zuhud, dan wara’ ini tersungkur sambil menangis. Tersedu-sedu. Air matanya tumpah. Surat di tangannya terjatuh. Kotor terkena tanah basah lantaran air mata sang Imam yang wafat di tahun 183 Hijriyah ini.
“Wahai Buhlul! Namamu disebut-sebut orang Samarkand, Khurasan. Engkau akan mendapatkan malapetaka dari Allah Ta’ala bila Dia tidak menutupi aibmu pada Hari Kiamat.” kata Imam Buhlul sembari terus menangis.
Dalam penelusuran kami, Samarkand merupakan sebuah daerah di Uzbekistan. Sedangkan Kairouan merupakan salah satu daerah di Tunisia. Jarak antara dua kota itu sekitar 6723 kilometer dengan total perjalanan ratusan jam melalui jalur darat dengan mobil.
Bisakah kita membayangkan, betapa masyhurnya keshalihan Imam Buhlul hingga namanya dikenal di daerah Samarkand, sementara informasi di zaman itu tidak beredar sederas zaman ini.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]