Sahabat Nabi yang Sedih dan Ketakutan Saat Mendapat 100.000 Dirham

0

Lelaki surga ini pulang dengan raut sedih dan takut yang mendominasi. Getar tubuhnya, gigil takutnya, panik air mukanya. Bukan lantaran bertemu hantu atau mendapat musibah. Lelaki surga ini sedih dan takut sebab pulang membawa rezeki halal seratus ribu dirham.

Sesampainya di rumah dan bertemu sang istri, muslimah pendamping lelaki surga ini pun bertanya, “Sayang, apa yang membuatmu sedih dan ketakutan?”

“Aku takut jika kelak bertemu Allah Ta’ala dan ditanya tentang ini satu persatu.” jawab sang lelaki surga sembari menunjuk kepingan dirham yang dibawanya.

Berbeda dengan suaminya yang sedih dan ketakutan, bidadari dunia dan surga ini justru menjawab santai, “Ini masalah yang amat mudah.” Kemudian, muslimah shalihah ini menggamit tangan suaminya seraya membawa seratus ribu keping dirham itu. “Ayo berkeliling kota.” Jelasnya dengan lembut, “Kita cari fakir miskin. Kita bagikan semua dirham ini. Sampai habis.”

Seharian berkeliling, seratus ribu keping pun habis. Tidak tersisa. Setelahnya, sang lelaki surga ini menghela nafas panjang, lalu memuji nama Allah Ta’ala. “Alhamdulillah,” ujarnya diiringi desah kelegaan, “segala puji bagi Allah Ta’ala yang membuatku kelak menghadap-Nya dalam keadaan suci dan bersih.”

Lelaki surga yang dinukil kisahnya oleh Amru Khalid dalam Siapa Membeli Surga ini adalah Thalhah bin ‘Ubaidillah. Berbeda dengan kita yang memburu dunia dengan seluruh kemampuan, ia dan istrinya justru tak membutuhkannya. Dunia tak menarik. Harta tak berharga. Dirham tak diminatinya.

Karenanya, ia sedih dan takut. Ia amat memahami, ada yang harus dipertanggungjawabkan atas setiap keping yang diperolehnya. Tentang bagaimana mendapatkan dan menyalurkannya. Maka, ia tak berkenan jika kelak harus berlama-lama menghadapi hisab untuk menjawab semua pertanyaan tentang harta sebanyak itu.

Lantaran tidak berminat itu pula, mereka segera menyalurkannya di jalan Allah Ta’ala. Dibagikan kepada yang berhak. Sangat berbeda dengan sebagian kita yang bergegas mengumpulkan hingga melupakan halal dan haram, lalu menumpuk dan enggan menyalurkannya di jalan yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya yang mulia.

Hendaknya pula kita memahami, yang salah bukan mengupayakan harta halal dan berkah yang banyak. Kesalahan terletak pada hasrat berlebih terhadap harta, lalu menahannya dari siapa yang berhak. Pasalnya, harta juga menjadi faktor penting dalam proses ibadah dan menyongsong kebangkitan Islam. Tapi, harta bukanlah faktor utama dan satu-satunya. [Pirman/Kisahikmah]

Artikel sebelumnyaSahabat yang Dijamin Surga, Padahal Amalnya Sedikit
Artikel berikutnyaSahabat yang Membeli Surga Dua Kali dari Nabi