Awalnya ia datang ke pesantren untuk menawarkan kerja sama. Agar pesantren itu mau menjadi mitra Bank tempatnya bekerja.
Ia membayangkan, jika santri dan pegawai pesantren itu menjadi nasabahnya, jumlahnya fantastis. Jauh lebih besar daripada ia mencari nasabah secara ‘retail.’
Menghadaplah ia ke Kyai pondok pesantren itu. Diterima dengan baik. Dijamu dengan berbagai hidangan layaknya tamu.
Setelah sedikit basa-basi, ia pun menyampaikan maksudnya.
“Apakah kamu tahu tentang riba?” tanya Sang Kyai setelah ia selesai bicara.
“Ini Bank Syariah, Kyai.”
“Apakah benar-benar Syariah? Apakah bagi hasil itu juga berarti bagi rugi jika nasabah yang pakai modal dari Bank Anda mengalami kerugian?”
Ia terdiam sesaat. “Hampir semua yang saya tangani akadnya jual beli, Kyai.”
“Kalau akadnya jual beli, apakah benar Bank Anda membelikan barangnya dan menyerahkan barang itu ke nasabah?”
“Kita wakilkan, Kyai.”
“Kalau diwakilkan, apakah benar nasabah menggunakan pinjaman untuk membeli barang sesuai akad tersebut? Kamu bisa menjamin?”
Ia terdiam lagi. Lalu Sang Kyai mengambil kitab dan membacakan untuknya.
Menit-menit itu terasa lambat. Ia yang awalnya ingin memprospek pesantren, kini ia yang diprospek. Hadits-hadits tentang riba yang dibaca Kyai tersebut laksana petir di siang bolong. Ia terkejut. Ngeri dengan siksanya. Ada gerimis di hati.
Beberapa hari usai pulang dari pesantren, ia tak semangat bekerja. Pikirannya kalut. Masih terngiang-ngiang bahaya riba yang dijelaskan Sang Kyai. Ia tahu bank tempatnya bekerja adalah Bank Syariah. Tapi ia tetap khawatir. Argumentasi Kyai mendobrak keyakinannya selama ini.
“Apakah aku harus resign?” Pertanyaan itu terus mengemuka. Ia tahu dalam kondisi seperti ini disyariatkan shalat istikharah. Dan setelah istikharah, ia semakin mantap untuk resign dari bank.
Bismillah. Hijrah. (Baca juga: Kisah Sufi)
Kini pria itu telah benar-benar resign dari Bank Syariah tempatnya bekerja. Dan sungguh buah dari hijrahnya, ia mendapat keberkahan. Ia saat ini menjadi salah seorang pengusaha properti.
“Bukan soal untungnya usaha, yang penting bersih dari riba,” tekadnya. [Muchlisin BK/Kisahikmah]