Rajin Ibadah, tapi Mengapa Hidup Malang dan Penuh Kesulitan?

0
ilustrasi @yenizengin

Tersebutlah seorang lelaki yang kusam dan senantiasa murung. Wajahnya kecut, air mukanya keruh. Ia mendatangi gurunya untuk mengadu. Sang guru adalah Abu Yazid al-Busthami. “Tuan Guru,” ungkapnya memulai, “sepanjang hidup, saya beribadah kepada Allah. Saya bermunajat ketika orang lain lelap dalam tidur, dan sudah mengaji saat istri saya belum bangun. Saya juga bukan pemalas.”

Tanyanya mencari solusi, “Tetapi, mengapa saya selalu malang dan hidup dalam penuh kesulitan?”

Sang guru yang bijak itu pun menyampaikan petuahnya, “Perbaiki penampilanmu. Dan, ubahlah roman mukamu.” Jelasnya kemudian, “Sebab Rasulullah adalah satu di antara sosok miskin di dunia ini, tetapi wajahnya tak pernah keruh dan senantiasa cerah ceria.”

Mendengarkan taujih sang guru, murid itu hanya menunduk dalam hening. Dan setelahnya, sebagaimana dituturkan Mas Udik Abdullah dalam Bagai Mengukir di Atas Air, “Wajahnya senantiasa berseri. Tiap kesedihan diterimanya dengan sabar. Keceriaan selalu dijaga. Ramah sikapnya, senyum terkulum manis di wajahnya, penuh dengan persahabatan. Wajahnya senantiasa berseri.”

Orang yang beriman, menurut Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib, adalah sosok yang meletakkan kesedihan di dalam hatinya, sedang wajahnya senantiasa tersenyum, cerah-ceria. Alhasil, yang senantiasa disaksikan oleh sahabat-sahabat dan orang sekitarnya hanyalah bahagia, suka, cita, gembira, dan hal-hal menyenangkan lainnya.

Mereka menjungjung tinggi nasihat Nabi yang mulia. Agar tidak meremehkan kebaikan sekecil apa pun, termasuk wajah cerah, senyum sumringah, tatapan penuh semangat, dan ekspresi kebahagiaan saat bersua dengan sesamanya.

Senada dengan petuah Sang Nabi, Imam Hasan al-Bashri juga sampaikan nasihat, awal keberhasilan sebuah pekerjaan adalah roman wajah yang ramah dan penuh senyum. Sebab memang, dari pribadi-pribadi seperti inilah didapati semangat dan optimisme yang tinggi.

Harapan mereka amat mendalam kepada Allah Ta’ala, cita-cita mereka tinggi dan jauh menembus sekat dunia; surga adalah mimpinya. Karena itu, apa yang dijalani di dunia, semua fase kehidupan dan pernak pernik yang dialaminya; dianggap sebagai sebuah proses keniscayaan dalam hidup yang mesti dijalani dengan sabar saat musibah, dan syukur ketika mendapati nikmat.

Pribadi-pribadi seperti inilah yang akan senantiasa memancarkan aura kebaikan kepada sekitarnya. Dan, semoga Anda menjadi bagian dari mereka. [Pirman]

Artikel sebelumnyaTiga Akibat Maksiat menurut ‘Ali bin Abi Thalib
Artikel berikutnyaTerpotong Satu Kaki, Anaknya Wafat, Orang Ini Malah Bersyukur