Dikisahkan oleh Ustadz Zulfi Akmal dari buku Syeikh Abbas as-Sisi, terdapatlah dua orang sahabat yang sudah lama menjalin ukhuwah. Akrab. Komunikatif. Saling memahami. Dan tumbuhnya kepercayaan antara keduanya.
Suatu hari, sahabat pertama mengunjungi saudaranya yang memiliki sebuah toko. Si sahabat tiba di toko saudaranya di sore hari, ketika tokonya hendak tutup. Dari kejauhan, sang sahabat menyaksikan saudaranya tengah menghitung uang, hasil penjualan hari itu.
Baru sedikit berbincang, saudara pemilik toko ini pamit ke kamar kecil. Ia mempersilakan sahabatnya duduk di sebuah kursi dekat dengan tempatnya menghitung uang. Sahabat yang bertamu pun mempersilakan tuan rumah yang memang hendak menunaikan hajat.
Terlihat janggal bagi si sahabat, ia menyaksikan saudaranya mengunci laci tempat penyimpanan uang yang baru saja dihitung. Ia meletakkan kunci di salah satu saku pakaianya, beranjak ke kamar kecil.
Sahabat yang bertamu pun bergumam. Dalam pemikirannya, saudara yang ditamui ini tidak memiliki kepercayaan kepadanya. Ukhuwah yang dijalin selama ini palsu. Bagaimana tidak, ia mengunci laci penyimpanan uang saat hendak ke kamar kecil, padahal ada dirinya yang duduk menjaga di sana. Dalam pikirannya, setan berujar, “Dia takut, jangan-jangan engkau mencuri uang hasil niaganya. Makanya laci dikunci.”
Tak lama kemudian, sang saudara pun keluar dari kamar mandi. Kelar tunaikan hajatnya. Lalu menyambangi tamunya, melanjutkan perbincangan. Sebab tak mau menyimpan prasangka, sang sahabat menyampaikan apa yang dipikirkannya barusan.
“Rupanya,” ujarnya membuat hening ruangan, “ukhuwah kita selama ini tidak berlandaskan saling percaya.” Saudara yang mendengar kaget, mengangkat kedua alisnya. “Engkau mengunci laci penyimpanan uang, padahal hanya ke kamar kecil, dan ada aku di sini. Seakan-akan,” hentinya sesaat, “engkau takut andai aku mencuri uangmu.”
Sang saudara pun menghirup nafas, agak dalam. Katanya menjelaskan dengan lembut, “Justru, aku melakukan itu karena kepercayaanku padamu dalam ukhuwah yang sudah lama kita jalin ini. Aku mengunci laci penyimpanan uang sebab percaya kepadamu.”
Yang diberi penjelasan belum memahami, dahinya berkerut. Memikirkan. “Aku tidak mau jika setan merusak ukhuwah kita. Aku baru saja menghitung uang hasil jualan hari ini, lalu engkau datang. Aku menyambutmu. Belum sempat memeriksa ulang, apakah hitunganku benar. Maka,” jelasnya sesaat kemudian, “aku mengunci laci.”
“Jika ternyata hitungan pertamaku salah, lalu aku tidak menguncinya, kemudian aku mendapati jumlah hitungan berkurang setelah kuulangi nanti, aku khawatir setan akan membisiki dengan godaan jahat, ‘Uangmu berkurang lantaran dicuri oleh sahabatmu. Bukankah saat ke kamar kecil tadi, engkau tidak mengunci laci? Dan hanya sahabatmu yang ada di lokasi itu.’”
Keduanya pun berpelukan sembari saling meminta maaf. Demikianlah di antara akhlak mulia dalam ukhuwah. Saling percaya. Maka jangan biarkan setan merusak ukhuwah yang tengah kita jalin dalam masa yang lama ini. Semoga Allah Ta’ala memasukkan kita ke dalam surga lantaran bagusnya ukhuwah terhadap sesama. Aamiin.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]