Khalifah ketiga kaum Muslimin, Sayyidina Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu sedang bertransaksi dengan seseorang. Jual beli ladang. Tak butuh waktu yang lama, keduanya menyepakati harga.
“Ulurkan tanganmu.” pinta Sayyidina Utsman kepada laki-laki yang hendak menjual ladangnya itu.
Sudah menjadi kebiasaan, sebagai tanda kesepakatan atas sebuah akad jual beli adalah jabat tangan antara penjual dan pembeli. Namun, si laki-laki tak lekas mengulurkan tangannya. Ia justru menyampaikan syarat lain.
“Aku,” katanya kepada Sayyidina Utsman bin Affan, “akan menjual ladang ini asal engkau tambahkan sepuluh ribu dirham.”
Saat itu terdapat juga sahabat mulia Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu. Utsman bin Affan menoleh ke arah Abdurrahman, lalu berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda, ‘Allah Ta’ala akan memasukkan orang yang bermurah hati ke dalam surga; baik pembeli maupun penjual, baik hakim atau terdakwa.’”
Dengan semangat mengikuti hadits yang mulia ini, Sayyidina Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu menoleh ke arah pemilik ladang. Ia mengambil keputusan mengejutkan. Ujarnya, “Baiklah. Ini sepuluh ribu dirham. (Aku memberikannya kepadamu) karena mengikuti sabda yang pernah diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu “Alaihi Wa sallam tersebut.”
Uang senilai sepuluh ribu dirham yang diminta oleh si penjual ladang bukanlah akad riba’. Tapi sejenis pemberian (hibah) yang memang dibolehkan. Bahkan, satu di antara sunnah baik dalam menjual adalah memberikan pengurangan harga (diskon) atau memberikan bayaran lebih saat kita membeli.
Kisah sejenis ini perlu kita ingat-ingat untuk diamalkan. Apalagi saat-saat seperti ini, ketika gelombang promosi menjadi pengusaha dengan berbagai labelnya semakin deras. Bahkan, saking bersemangatnya, ada begitu banyak konsep syubhat yang diadopsi. Padahal, sebagai kaum Muslimin, kita memiliki banyak teladan yang nyata keshahihannya.
Dari kisah ini kita bisa menyimpulkan satu di antara banyaknya kriteria pengusaha sejati. Ialah orang-orang yang berniaga dengan niat ibadah. Orientasinya bukan hanya rupiah atau keuntungan semata. Ia berharap dan benar-benar beramal agar surga bisa dibeli dengan berbagai transaksi yang mereka lakukan.
Mudah-mudahan Allah Ta’ala memudahkan kita untuk menjadi pengusaha yang benar-benar memburu surga. Aamiin.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]