Pacaran Lalu Berzina, Ternyata Sang Wanita Penderita AIDS

0
penderita aids - ilustrasi
ilustrasi (liputan6)

Banyak orang mengatakan aku tampan. Itu yang membuatku percaya diri ketika ada gadis yang mencuri perhatianku. Namun, baru kali ini aku terkesima.

Saat menikmati kopi di sebuah kedai market, seorang gadis cantik lewat di depanku. Tampak beberapa kali ia memandangku. Ada kesan menggoda. Tapi entah kenapa justru aku langsung menyukainya.

Segera kuikuti dia hingga masuk ke sebuah toko. Di sana kami berkenalan dan dengan sopan ia meminta nomorku. Hari-hari berikutnya kami sering saling SMS dan telepon.

“Sebenarnya aku janda, usiaku 31 tahun,” katanya berterus terang. Aku yang lebih muda dua tahun dan masih perjaka, tak peduli dengan itu. Kecantikannya telah mengesampingkan segalanya.

Kami pun sering bertemu. Getar-getar cinta semakin menggelora, namun aku tak pernah bisa menyentuhnya. Itu yang membuatku semakin kagum. “Dia wanita terhormat,” gumamku.

Suatu hari, ia meminta tolong kepadaku. Ia mengeluarkan sebuah cek atas namaku senilai 10.000 riyal, tiket ke Kairo dan voucher menginap tiga hari di Hotel bintang lima Samir Amis. “Pergilah kamu ke Kairo, setelah tiba di hotel hubungi nomor ini dan ia akan mengajakmu ke perusahaan. Kamu cukup tanda tangan mewakili aku dan nanti pakaian-pakaian internasional dari Paris akan dikirim kepadaku. Apakah kamu bersedia?”

“Pasti, sayang. Demi kamu pasti akan kulakukan,” aku segera menerima permintaan itu meskipun harus mengambil cuti dari kantor.

Tiba di Kairo, aku segera menuju hotel Samir Amis. Seteah rehat sejenak, kuhubungi nomor itu. Aku kaget bukan kepalang, ternyata yang mengangkat telepon adalah wanita pujaan hatiku.

“Kamu kaget ya? Aku sengaja mengundangmu kemari untuk menjelaskan banyak hal. Datanglah ke kamar nomor 2.”

Sampai di kamar nomor 2. Ia telah menyambutku dengan pakaian menggoda. Mulanya kami hanya berbincang, hingga terjadilah perbuatan terkutuk itu. Aku berzina dengannya. Dan itu terulang beberapa kali selama kami di Kairo.

Setahun sudah aku menjalin hubungan dengannya. Hingga suatu hari, aku mengalami kecelakaan bersama saudaraku. Ia mengalami pendarahan hebat dan segera dimasukkan ke ruang operasi. Dokter memintaku yang kebetulan selamat dalam kecelakaan itu untuk donor darah.

Sesaat setelah melakukan pemeriksaan darahku, dokter datang dengan wajah lesu.
“Kenapa dengan saudara saya, Dok. Katakan, Dok”
“Engkau harus percaya dengan takdir Allah, Nak”
“Apakah saudara saya meninggal?”
“Tidak”
“Lalu kenapa?”
“Darahmu terkena virus HIV,” kata-kata itu terdengar bagaikan petir yang menyambar di siang hari. Saya langsung pingsan.

Setelah sadar, tubuhku gemetar. Ya Allah… sejak kapan aku mengidap penyakit mematikan ini?

“Sebenarnya engkau belum terkena AIDS, tetapi darahmu mengandung HIV”

Ya Allah… Allahul musta’an. Tiba-tiba terbayang semua dosa yang kulakukan. Aku terus menerus berdzikir dan berdoa.

Dua hari setelah insiden itu, saudaraku meninggal dunia. Aku lebih merasa bersalah lagi. Tidak bisa membantu transfusi darah, dan juga ingat dialah yang dulu menasehatiku agar menjauhi wanita tersebut.

“Kamu di mana sayang? Lama tidak bertemu,” wanita itu meneleponku sepekan setelah aku kehilangan saudaraku.
“Apa maumu?” jawabku dengan nada marah.
“Kamu kenapa?”
“Saudaraku meninggal dan aku sangat terpukul”
“Yang penting kau masih hidup. Kapan kita bisa bertemu?” ia bahkan tidak mendoakan saudaraku.
“Kita tidak akan pernah bertemu lagi”
“Kenapa?”
“Aku mencintaimu dan tak mau kau celaka?”
“Ada apa?”
“Aku terkena HIV”
“Bagaimana kau tahu?”
“Saat saudaraku kecelakaan, aku diminta donor darah. Ternyata darahku mengandung HIV”
“Apakah kau pernah berhubungan dengan wanita lain selain diriku?”
“Tidak”
“Apakah kau pernah transfusi darah sebelumnya?”
“Tidak”
“Kalau begitu, engkau akan mati tak lama lagi”
“Apa maksudmu?”
“Sebenarnya, aku memang mengidap AIDS. Dan aku bertekad akan membalas dendam. Aku akan menularkan penyakit ini pada setiap laki-laki. Engkau adalah korban pertamaku.”
“Cukuplah Allah sebagai pelindung, dasar wanita pengindap AIDS, wanita…” Aku marah. Emosi. Kata-kata kasar keluar dari lisanku.

Hari-hari berikutnya aku jalani dengan penderitaan panjang. Usiaku kini sudah 32 tahun. Setiap kali orang tua mendesak aku untuk menikah, aku selalu mengelak. Aku tak ingin menularkan penyakit mematikan ini pada siapapun. Tidak pada istriku, tidak juga pada anakkku sekiranya aku menikah dan punya anak.

Banyak pertanyaan dari kerabat dan teman, aku ini tampan, kenapa tidak juga menikah. Aku hanya tersenyum getir. Dalam hati aku teriris-iris. Kutahan air mata ini dan kutumpahkan saat sujud.

Ya Allah… aku ingin bertaubat. Sejak hari itu kuperbaiki ibadahku. Aku ingin benar-benar bertaubat. Aku tak tahu sampai kapan aku bertahan hidup. Tetapi aku tak mau mati dalam kondisi kafir. Aku ingin mati dalam kondisi muslim. Maka aku mulai rajin ke masjid, puasa sunnah, shalat malam dan mulai menghafal Al Qur’an.

Sengaja kutulis kisahku ini agar menjadi peringatan bagi setiap pemuda Islam. Jangan pacaran, apalagi sampai berzina. Sebab azab pedih menanti. Di dunia saja sudah bisa menderita seperti ini. Apalagi di akhirat jika tak mendapat ampunan Ilahi. [Kisahikmah.com]

*Disarikan dari kisah nyata Qashashun Abkatni karya Salim Muraisyid

Artikel sebelumnyaSufi yang Membahayakan Diri Sendiri dan Jamaahnya
Artikel berikutnyaCerdas Menyentuh Hati Objek Dakwah