Atas izin Allah Ta’ala, pengajian anak-anak di kontrakan kami makin banyak diminati. Dari mulanya dua orang, kini sudah ada sekitar dua puluhan santri. Laki-laki dan perempuan. Lantaran ruangan yang tak kuasa menampung, kami pun membaginya menjadi dua kelas.
Kelas bakda Maghrib untuk santri akhwat. Kelas bakda ‘Isya’ untuk santri ikhwan. Alhamdulillah, mereka senantiasa bersemangat. Progresnya pun semakin baik. Sebagian besar sudah kelar hafalan surat an-Naba’, yang lain sudah sampai an-Nazi’at. Bahkan sudah ada yang sampai at-Takwir dan al-Infithar.
Kami membuat program hafalan. Mulai dari juz tiga puluh. Dari surat an-Naba’.
***
Menemani anak-anak belajar mengaji bukan hanya butuh kesabaran, tapi juga kecerdasan dan ketulusan. Jika ketulusan bisa dipelajari seiring berjalannya waktu, kecerdasan pun harus senantiasa dilatih. Dengan membaca dan sarana memperluas wawasan lainnya.
Sebab, anak-anak itu cerdas. Imajinasi mereka tanpa batas. Banyak pertanyaan-pertanyaan cerdas yang dilontarkan, dan sering kali kita tak kuasa menerka sebabnya, lebih-lebih lagi memberikan jawaban yang memuaskan mereka.
***
“Om, dosa itu warnanya apa sih?” tanya salah seorang santri yang kebanyakan masih usia sekolah dasar.
Untuk mengalihkan perhatian sekaligus mengulik jawaban terbaik, saya biasakan mengulang pertanyan. “Gimana?” tanya saya.
Penanya pun langsung mengulangi, bahkan diikuti oleh teman-temannya yang lain, selama pertanyaan itu menarik bagi mereka.
“Dosa warnanya apa, Om?” ujar mereka. Serentak.
***
Saya beranjak ke kamar. Mengambil kertas putih dan pulpen. “Sini, Nak. Mendekat.” ujar saya.
Mereka mendekat. Berkerumun. Berkeliling rapi. Semuanya memperhatikan.
Saya bubuhkan satu titik menggunakan pulpen di tengah kertas putih itu.
“Titiknya kelihatan gak?” tanya saya.
“Gak kelihatan, Om.”
Saya melanjutkan ke titik-titik berikutnya.
“Kelihatan gak titiknya?”
“Gak kelihatan, Om.”
Saya memperbanyak jumlah titik. Semakin rapat hingga membentuk lingkaran dengan banyak titik.
“Sudah kelihatan belum warna titik-titiknya?”
“Sudah, Om….” jawab mereka serentak.
“Nah,” simpul saya, “seperti itulah dosa. Awalnya satu titik hitam di kertas putih. Tidak kelihatan. Jika titiknya diperbanyak, lama kelamaan kelihatan karena jumlahnya melimpah. Dosa pun begitu.”
“O… jadi, dosa warnanya hitam ya, Om?”
Saya hanya tersenyum. Mereka pun mampu menyimpulkan. Alhamdulillah.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]