Nasihat Kematian yang Mecengangkan

0
sumber gambar: plus.google.com

Sesampainya di sekolah tempat istri mengajar, kami dikagetkan dengan kabar kematian istri dari penjual koran langganan. “Semalam, Pak.” tutur petugas keamanan sekolah, memberi kabar kepada kami yang baru mematikan mesin kendaraan roda dua.

Istri memohon izin sejenak, meletakkan tas  yang berisi bahan-bahan mengajar di mejanya. Saya menunggu di halaman sekolah. Tak lama kemudian, setelah mendapatkan petunjuk dari petugas keamanan, kami menuju rumah duka yang terletak di ujung komplek perumahan.

Hanya sekitar tiga menit bermotor, terlihatlah motor-motor terparkir rapi dan beberapa puluh orang di sekitarnya. Sebagian duduk. Sebagian lainnya memilih berdiri. Mereka terlihat berbincang. Akrab.

Kami berjalan beriringan, tak lupa tersenyum, mengucap salam, berjabat tangan, lalu menuju rumah yang letaknya di sebelah kiri jalan perumahan. Allah… Kalimat itulah yang pertama kali terucap di hati. Sungguh mengenaskan.

Jendela rumah terbuka, tanpa kaca. Atap bolong-bolong. Bocor di sana-sini. Rumah hampir roboh. Bukan hanya kumuh, tapi benar-benar tak layak huni.

Lantaran istri harus mengajar, kami berpamit setelah berbincang sekitar sepuluh menit. Setelah mengantarkan istri ke sekolah, saya memilih menunggu untuk ikut menshalati jenazah yang dijadwalkan sekitar tiga puluh menit kemudian.

Tunai shalat jenazah yang langsung diimami oleh sang suami almarhumah, saya memilih menunggu beberapa menit sampai jam mengajar istri berakhir. Selanjutnya, kami berencana mengunjungi teman guru yang baru ditamui duka, sekitar dua hari yang lalu. Ayah kandungnya meninggal dunia. Lagi-lagi, nasihat kematian menuntut kita meluruhkan selmua kesombongan dan kepongahan diri. Astaghfirullah.

Sekitar dua puluh menit dengan kecepatan 50-60 kilometer per jam, kami pun sampai di rumah sahabat istri. Di perkampungan. Perbatasan antara Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Bogor.

Lantaran waktu mendekati shalat Jum’at, tuan rumah sudah lebih dahulu menuju masjid. Kami diterima dengan senyum oleh istrinya, berbincang sejenak, lalu saya pamit menuju masjid karena adzan pertanda masuknya waktu shalat Jum’at sudah dikumandangkan.

Sama dengan kematian si istri dari imam sekaligus khatib masjid yang sehari-hari menjadi penjaja koran, ayah dari teman istri mengajar ini dijemput Izrail setelah didahului sakit. Sakit bukan sebab meninggal. Sebab ada begitu banyak orang sakit yang sembuh. Banyak pula orang yang meninggal tanpa didahului sakit.

Berdasarkan info medis,

Bersambung ke Nasihat Kematian yang Mecengangkan

Artikel sebelumnyaNikah Umur 21, Ngontrak di Dekat Kuburan, Kini 20 Juta dalam 3 Jam
Artikel berikutnyaNasihat Kematian yang Mecengangkan (2)