Kisah Nabi Nuh, Rasul Pertama dalam Sejarah Manusia

0
kisah nabi nuh rasul pertama

Nabi Nuh ‘alaihis salam, seorang Rasul yang penuh kesabaran dan keteguhan, diutus untuk menyampaikan pesan Allah kepada kaumnya yang telah tersesat.

Beliau adalah putra dari Lamik bin Matusyalikh bin Idris. Lahar 116 tahun setelah wafatnya Nabi Adam ‘alaihis salam. Dengan penuh rasa syukur, Nabi Nuh senantiasa memuji Allah dalam setiap keadaan. Ketakwaannya mengantarkannya menjadi hamba yang mendapat amanah besar: menyeru umat yang telah lama terjerumus dalam kesesatan menuju cahaya tauhid.

Awal Mula Penyembahan Berhala

Jauh sebelum masa Nabi Nuh, hidup di tengah kaum Bani Rasib lima orang laki-laki saleh yang bernama Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Mereka bukan hanya terkenal dengan keimanan dan ketakwaan, tetapi juga karena kebijaksanaan dan keadilan yang mereka tunjukkan kepada sesama.

Ketika kelima orang saleh itu meninggal dunia, kaum mereka merasakan kesedihan yang mendalam. Kehilangan mereka begitu terasa, karena tak ada yang dapat menggantikan peran dan sifat mulia dari kelima tokoh ini.

Melihat kondisi kaum itu, datanglah iblis dalam wujud seorang pria yang tampak bersahaja, menawarkan sebuah usulan yang pada awalnya tampak tak berbahaya.

“Aku dapat membuatkan patung yang menyerupai orang-orang saleh ini. Dengan patung itu, kalian akan selalu teringat akan kebaikan mereka,” ujar sang iblis dengan lembut.

Tanpa berpikir panjang, kaum tersebut menyetujui tawaran iblis. Mereka berharap kehadiran patung-patung itu akan menjadi pengingat bagi mereka untuk terus berbuat baik, sebagaimana yang Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr lakukan semasa hidup mereka.

Tahun demi tahun berlalu, generasi berganti, dan tujuan semula untuk mengenang kebaikan orang-orang saleh itu memudar. Patung-patung tersebut mulai disalahgunakan oleh generasi berikutnya, yang tidak lagi memahami niat mulia pendahulu mereka. Patung-patung tersebut menjadi benda keramat, dan akhirnya, mereka menyembahnya sebagai tuhan yang diyakini mampu mendatangkan keberuntungan dan menolak bencana.

Berhala pertama yang mereka sembah adalah patung Wadd. Seiring berjalannya waktu, mereka juga menyembah patung-patung lainnya. Perlahan-lahan, penyembahan berhala menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari Bani Rasib. Menyembah berhala telah mendarah daging dalam hati mereka, membawa mereka pada kesesatan yang jauh dari nilai kebenaran dan kebaikan.

Baca juga: Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul

Kejahatan Merajalela di Tengah Kaum

Penyembahan berhala tidak hanya merusak keyakinan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi juga membawa kehancuran moral. Kemerosotan akhlak melanda seluruh lapisan masyarakat.

Si kaya yang tenggelam dalam kekayaan semakin tinggi hati dan semena-mena menindas si miskin. Kesombongan dan kebengisan menjadi karakter yang melekat pada kaum itu. Mereka bahkan berani memperolok-olok orang-orang yang lebih lemah, merampas hak, dan menolak keadilan. Masyarakat terpecah belah dan kejahatan merajalela tanpa batas.

Di tengah keadaan yang semakin buruk, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus seorang Nabi yang penuh kesabaran dan kelembutan hati, yakni Nabi Nuh ‘alaihis salam. Sebagai rasul pertama yang diutus kepada kaum yang menyembah berhala, Nabi Nuh diberikan misi untuk menyeru mereka kembali ke jalan Allah.

Baca juga: Abdullah bin Abbas

Nabi Nuh Berdakwah dengan Penuh Kesabaran

Dengan penuh rasa kasih dan pengertian, Nabi Nuh mengajak kaumnya untuk meninggalkan penyembahan berhala dan hanya menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya Allah, satu-satunya Tuhan yang layak disembah.

Beliau menasihati mereka agar meninggalkan segala bentuk perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan di antara sesama. Dalam berbagai kesempatan, Nabi Nuh berusaha menyentuh hati mereka, mengingatkan bahwa segala ciptaan adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya mereka harus berserah diri.

Namun, ajakan Nabi Nuh tidak diterima dengan baik. Hanya segelintir orang yang bersedia mendengarkan dan mengikuti ajaran beliau, sementara sebagian besar menentangnya. Mereka yang menolak mencemooh dan memperolok-olok Nabi Nuh, bahkan menyebutnya sebagai orang yang kehilangan akal. Mereka merasa nyaman dengan keyakinan sesat yang telah mereka anut selama bertahun-tahun, dan menolak untuk percaya kepada kehidupan setelah mati atau kebangkitan yang Nabi Nuh sampaikan.

Seiring waktu, meski mendapatkan penolakan yang luar biasa, Nabi Nuh tidak berputus asa. Beliau terus-menerus menyeru mereka, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, dengan harapan hati mereka akan luluh dan mau kembali ke jalan Allah. Nabi Nuh berdoa kepada Allah agar memberinya kekuatan dalam menjalankan tugasnya, dan agar kaumnya mendapatkan hidayah. [Kisah Hikmah]

Artikel sebelumnyaAbdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul
Artikel berikutnyaAbdullah bin Abu Bakar, Kisah Cinta Sejati di Zaman Nabi