Menulis sebagai Bekal Menuju Akhirat

0
sumber gambar: linkis.com

Sejak dulu saya menyenangi dunia menulis. Bahkan saya lebih memilih mendalami menulis ketimbang jurusan saya ketika masih kuliah. Tiap pulang kuliah, bukannya membaca buku diktat, saya malah menulis kejadian-kejadian seru di kampus, semisal perpaduan harmonis antara suara katak dan jeritan teman-teman mahasiswi tiap melakukan bedah katak di laboratorium.

Berawal dari ‘Kesombongan’

Saya mulai menggeluti dunia menulis sejak tahun 2010. Berawal dari ‘kesombongan’. Saat itu saya membaca buku komedi tentang kegokilan anak-anak kosan. Usai membaca, saya berkata, “Ah… kalau menulis begitu sih, saya juga bisa.”

Akhirnya saya menulis cerita lucu. Karena belum memiliki laptop, saya menghabiskan berlembar-lembar kertas bekas laporan praktikum yang ditolak asisten untuk menulis cerita-cerita lucu. Berdasarkan pengalaman sendiri.

Waktu berlalu, cerita saya selesai menjadi satu naskah utuh. Saya mengirimkan naskah tersebut ke penerbit buku dengan modal kepercayaan diri. Itulah pertama kalinya mengirimkan tulisan ke media.

Kurang dari satu bulan, pihak penerbit membalas email saya. Mereka memerintahkan saya merevisi tulisan karena kurang lucu. Membaca balasan email itu sungguh menghadirkan secercah harapan di hati.

Singkat cerita, naskah pertama saya gagal. Saya lelah disuruh merevisi.

Pada tahun 2011, saya mulai aktif mengikuti komunitas menulis online dan lomba-lomba menulis. Seperti pisau, pena juga perlu ditajamkan. Entah berapa banyak lomba menulis berskala nasional yang saya ikuti. Beberapa kali saya masuk nominasi penulis terbaik, sekali waktu bahkan pernah menjadi runner up.

Pada tahun yang sama pula, buku pertama saya terbit secara indie.

Selain menerbitkan buku solo, beberapa kali saya dan teman-teman juga berkolaborasi dalam buku antologi, melakukan proyek menulis, dan juga mengadakan lomba menulis. Teman-teman yang saya kenal lewat forum menulis online mulai menampakkan passion menulis masing-masing. Ada yang konsen menulis novel, cerpen, artikel, skenario, dan lain-lain. Banyak yang sukses menjadi penulis skenario ftv, novel, wartawan majalah ternama, dan lainnya.

Ternyata, diam-diam saya mulai menarik diri. Di sinilah saya mulai berfikir.

Apa benar tujuan saya dalam menulis? Apa yang ingin saya capai? Kepopuleran? Penggemar yang banyak? Nama tersohor? Materi yang berlimpah?

Beberapa lama saya memutuskan hiatus dari dunia menulis. Saya membiarkan beberapa pembaca setia meninggalkan pertanyaan di inbox tentang kapan saya akan menulis lagi, kapan saya menerbitkan buku lagi.

Dalam masa perenungan itu, saya  membaca beberapa buku para ulama. Ada sebuah buku bagus yang membuat saya kembali bergelora untuk menulis. Melalui buku itulah saya meyakinkan diri tentang tujuan menulis, yakni menebar kebaikan, berdakwah, amal jariyah, dan bekal menuju akhirat kelak.

Akhirnya saya kembali menulis dari hal-hal yang kecil dan sederhana. Saya tidak lagi getol mengikuti lomba, kecuali yang benar-benar sesuai dengan hati. Saya sengaja membuat blog pribadi agar tulisan saya bebas dibaca oleh siapa saja dan menjadi wasilah kebaikan bagi orang lain. Saya menyadari satu hal, dulu ada niat yang keliru sehingga saya tetap merasa tidak nyaman dan bahagia meski bersama teman-teman yang hebat dengan prestasi dunianya.

Menulis untuk Menyemangati

Sebelum menikah, saya aktif menulis tentang masalah jomblo dan jodoh. Saya seperti memberi motivasi dan semangat untuk para jomblo, padahal tujuannya untuk diri sendiri. Agar sabar dalam penantian dan tidak berputus asa dengan melakukan jalan pintas yang tidak diridhai oleh Allah.

Setelah menikah dan memulai hidup baru dengan suami, saya merasa kehilangan waktu untuk menulis. Sungguh, menikah ternyata sangat menyita waktu! Bukan untuk mengurus rumah dan pernak-perniknya tapi sibuk untuk jatuh cinta. Ternyata, inilah indahnya pacaran setelah menikah.

Sampai akhirnya saya mengikuti program Belajar Menulis Online yang dibimbing oleh Redaktur Eksekutif Kisahikmah(dot)com. Saya ingin mengadopsi ilmunya. Ilmu tentang membagi waktu antara menulis dan jatuh cinta dengan si dia. Kalau beliau yang usianya sama dengan saya tapi sudah punya 7 anak dan satu cucu bisa meluangkan waktu, kenapa saya tidak bisa padahal anak saja baru akan punya. [Nurhudayanti S-Belajar Menulis Online]

Artikel sebelumnyaBegini Cara Tebar Kebaikan dan Hidayah dari Dalam Rumah
Artikel berikutnyaBukan Khadijah, Tetapi Fathimah