Sesaat sebelum berangkat menuju agenda dakwah di kotanya, salah satu anak laki-laki ini menderita sakit. Badannya demam. Panas dan dingin bergantian. Ia pun sigap berkemas, memberikan pertolongan pertama, lalu memanggil dokter ke rumahnya.
Tak lama setelah itu, dokter datang. Dilakukan pemeriksaan. Sebelum pulang, dokter menjelaskan bahwa sakit si anak biasa saja, bukan sakit kritis. Dokter pun pamit, bergegas menuju rumahnya.
Berselang beberapa menit kemudian, laki-laki ini juga berkemas. Ia mendatangi istri dan anggota keluarganya yang lain. Pamit hendak pergi menuju agenda dakwah yang sudah dijadwalkan sebelumnya.
“Bukankah anakmu sedang sakit?” tanya salah satu sahabat yang biasa mengikuti perjalanannya.
“Betul,” jawab laki-laki itu membenarkan.
“Lantas, tidakkah kau mengurungkan diri untuk beranjak?” kata penanya ajukan usul.
“Aku tetap harus berangkat. Aku sudah melakukan ikhtiar untuk kesembuhan anakku. Di sini juga ada istri dan keluargaku yang lain. Sedangkan di sana, belum ada yang menggantikanku untuk menyampaikan firman-firman Allah Ta’ala.” jawab si laki-laki. Bertenaga.
Dialog dalam kisah ini bukanlah kalimat langsung, tapi pernah benar-benar terjadi di muka bumi ini. pelakunya adalah Imam Hasan al-Banna sang pendiri organisasi pergerakan Islam terkemuka di Mesir dan dunia Islam. Beliau merupakan dai yang sejuk, lembut, dan bersikap pertengahan sebagaimana anjuran ahlus sunnah wal jamaah.
Sekilas, ijtihad Imam Hasan al-Banna ini kurang tepat. Bukankah beliau bisa saja ‘libur’ dari dakwah karena anaknya sakit? Akan tetapi, beliau telah menempuh jalan yang benar dengan mengobati anaknya terlebih dahulu, lalu melanjutkan niatnya untuk berdakwah. Logika terbaliknya, bukankah dengan berdakwah maka Allah Ta’ala akan segera memberikan pertolongan kepada dirinya dan kesembuhan untuk anaknya?
Laki-laki seperti ini, dan laki-laki lainnya yang jumlahnya semakin sedikit di muka bumi ini merupakan pilihan. Mereka adalah segelintir kaum yang memprioritaskan taat kepada Allah Ta’ala, hingga Dia pun mengistimewakannya.
Mereka seperti yang dikatakan oleh Imam al-Harits al-Muhassibi, “Ketahuilah, barang siapa mengutamakan Allah, niscaya Dia mengutamakannya.”
“Barangsiapa lebih mendahulukan ketaatan kepada Allah Ta’ala daripada porsi jiwanya sendiri,” tutur Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah menafsirkan kalimat hikmah Imam al-Muhassibi, “niscaya Allah Ta’ala mengistimewakan dan meridhainya.”
Tidakkah kita berkeinginan menjadi orang-orang yang senantiasa diistimewakan dan mendapatkan ridha dari Allah Ta’ala? Jika ‘Ya’, inilah salah satu langkah yang harus Anda tempuh dan senantiasa diperjuangkan di sepanjang kehidupan yang Anda jalani.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]