Manusia Terbaik dan Manusia Terburuk

0
sumber gambar: www.youtube.com

Allah Ta’ala menciptakan kematian dan kehidupan bagi manusia, salah satunya, untuk mengetahui; manakah di antara manusia-manusia itu yang paling bagus amalnya. Berbeda dengan seruan dzikir yang menggunakan kata keterangan ‘sebanyak-banyaknya’, perintah beramal identik dengan kualitasnya.

Artinya, amalan sangat terkait dengan kualitas, bukan sekadar kuantitas. Karena itu, kita menjumpai sebuah hadits ‘amalan yang terbaik dan disukai Allah Ta’ala adalah yang rutin dikerjakan, meski frekuensinya sedikit’. Meskipun, jika seseorang bisa memperbanyak amal dengan kualitas terbaik, tentulah hal itu akan sangat dianjurkan dan membanggakan.

Manusia terbaik dan manusia terburuk, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, juga ditentukan berdasarkan kualitas amal dan jumlah usianya. Disebut terbaik jika seseorang memiliki umur yang panjang dan senantiasa berada di dalam ketaatan. Sebaliknya, julukan manusia terburuk disematkan kepada mereka yang umurnya panjang, tapi kesibukannya adalah maksiat dan dosa kepada Allah Ta’ala.

Kini, saatnya bagi kita untuk berhitung dengan cermat. Melihat kepada masa-masa yang telah dijalani, berkaca secara jujur, lalu merencanakan proyek kebaikan untuk kehidupan yang akan datang.

Apakah selama ini kesibukan kita adalah kebaikan yang mendatangkan pahala dan semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala? Apakah usaha yang kita jalani menjadi jembatan bagi tercapainya ridha Allah Ta’ala? Apakah setelah mendapatkan nikmat-nikmat, kita memanfaatkannya untuk kebaikan sebagaimana diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?

Sebaliknya, apakah selama ini kita hanya sibuk mengeluh, padahal begitu banyak karunia yang Allah Ta’ala berikan? Apakah nikmat-nikmat dari Allah Ta’ala justru kita gunakan untuk beramal buruk bahkan menjadi promotor dan sponsor utama keburukan? Apakah kita dengan pongah bersikap kufur, ingkar, dan melawan Allah Ta’ala dengan nikmat-nikmat yang diberikan oleh-Nya?

Kini, masanya bagi kita untuk merenung. Berapa pun usia kita, berlakulah jujur. Mana yang lebih banyak; baik atau buruk? Mana yang lebih kita sukai; orang baik atau orang buruk? Mana yang lebih kita dukung; proyek kebaikan atau proyek keburukan?

Hanya dengan berlaku jujur dan menilai diri secara cermat dan telitilah kita bisa menjawab sebuah pertanyaan; di manakah posisi kita? Bersama para Nabi, orang-orang shalih, shiddiqin, dan orang-orang yang meninggal dalam keadaan syahid di jalan Allah Ta’ala, ataukah bersama rombongan penjahat yang dikomandoi oleh setan terlaknat?

Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]

Artikel sebelumnyaMeninggal Setelah Hafal Quran, Kafan Gadis Ini Berbau Wangi
Artikel berikutnyaSyekh dari Pacitan Berkualitas Internasional