Sebab tidak ada kebetulan di dunia ini, maka mampirnya saya ke sebuah tempat cukur sekitar polsek Pagedangan siang ini adalah satu di antara taqdir yang Allah Ta’ala tetapkan. Setelah sedikit berpikir, apa yang disampaikan oleh laki-laki usia empat puluh tiga tahun asal Sukabumi ini layak untuk dituliskan. Harapannya, ada hikmah yang bisa kita nikmati dan manfaatkan bersama.
Laki-laki beranak satu dengan usia lima tahun ini tergolong piawai dalam mengorek data dan mengajak pelanggannya berkisah. Hanya bertanya ‘Om darimana?’, dia bisa melanjutkan cerita hingga masa sekitar lima belas menit setelahnya, tanpa henti.
Saat saya menyebut sebuah daerah di Kota Tangerang, laki-laki ini langsung menuturkan bahwa dia pernah tinggal di daerah itu, saat umurnya baru lima belas tahun. “Bujangan saya di sana. Dekat Kober. Buaran Indah.”
Setelah berkeliling ke berbagai daerah, laki-laki ini menetap di tempat praktiknya sekarang bersama satu istrinya yang berasal dari kampung sebelah. Kampung Buaran.
Di sepanjang kisah perjalanan hidupnya, laki-laki yang memiliki piagam sebagai tukang cukur ini juga memahami dunia LGBT. Dia dengan tangkas mengisahkan Bang Ipul.
“Memalukan. Dia tampan. Sudah haji. Punya uang. Tapi doyan sama laki-laki. Jijik. Padahal, banyak sekali gadis cantik.” tuturnya dengan nada ketus sembari menunjukkan ketangkasannya merapikan rambut pelanggannya.
Dia lantas mengaitkan dengan pekerjaannya sebagai tukang cukur. Sebelumnya, dia bekerja di salon besar bilangan Jakarta. Rudi. Dia sebut nama salonnya itu. Di sana, dia terbiasa mendapati pelanggan selayak Bang Ipul yang ditangkap oleh polisi dengan tuduhan pencabulan itu.
“Mereka menakutkan. Cuma memeras duit korbannya. Apalagi kalau gagah, putih, dan tampan. Dan yang sudah terjangkiti, biasanya mau memberikan semua yang diminta oleh brondongnya. Pun sepatu mahal seharga lima juta (puluhan hingga ratusan juta).”
Dengan nada cerita semakin berapi-api, laki-laki yang mengaku belum bisa membelikan rumah untuk istrinya ini terdengar aneh ketika bertutur, “Bang Ipul terkena karma karena dia sering memarahi kontestan dangdut dengan ketus. Nah, para peserta itu kebanyakan berasal dari kampung. Mereka tidak terima, lalu menggunakan ilmu hitam hingga Bang Ipul menjadi korban.”
“Hati-hati,” pesannya sebelum rambut saya dirapikan, “mereka berkeliaran. Mereka tak segan menggunakan kekerasan. Suka ikut ke kamar mandi saat kita hendak buang air kecil dan kerap meremas-remas tangan dan paha saat duduk bersebelahan.”
Semoga laki-laki yang menyapa saya dengan panggilan ‘om’ ini dilimpahi kebaikan dari Allah Ta’ala dan kebaikannya diganjar dengan pahala terbaik. Sebab bagaimanapun, yang dia lakukan berhasil membuat istri saya tersenyum. Dia sudah demo lebih dari dua pekan sebab saya tak kunjung beranjak memotong rambut. Katanya, “Aku sayang sama Mas kalau Mas mau potong rambut.”
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]