Kisah Pemabuk yang Bertaubat Setelah Ditolong Abu Hanifah

0
ilustrasi © gambarinfo
ilustrasi © gambarinfo
ilustrasi © gambarinfo

Di Kufah, Imam Abu Hanifah punya tetangga seorang pemuda. Sepanjang hari, pemuda ini bekerja sebagai tukang sepatu. Malamnya, ia pulang dengan membawa daging atau ikan untuk dipanggang. Sambil menyantap daging atau ikan panggang, ia minum khamr hingga mabuk.

Hampir bersamaan dengan waktu Imam Abu Hanifah shalat malam, pemuda itu melantunkan syairnya:
Mereka menyia-nyiakan aku
dan semua orang yang disia-siakan sepertiku
O, siapakah yang telah menyia-nyiakan
Hari yang tak menyenangkan
dan hari terkuncinya lisan

Hampir setiap malam ulama yang dikenal dengan nama Imam Hanafi mendengar ocehan pemuda tersebut. Hingga pada suatu hari, suara ocehan itu tak terdengar lagi.

Imam Abu Hanifah pun mendatangi rumah pemuda itu dan mencari tahu apa yang terjadi. “Kemarin malam ia ditangkap polisi. Ia kini sedang dipenjara” kata orang-orang memberitahukannya.

Segera, pagi itu juga, Imam Abu Hanifah mengendarai bighalnya menuju kediaman Gubernur. Melihat kedatangan ulama agung itu, Gubernur menyambutnya dengan penuh hormat. Ia menyuruh para pejabat menyambutnya. Ia juga memerintahkan anak buahnya membentangkan karpet untuk dilalui imam besar itu begitu turun dari bighalnya. “Merupakan kehormatan bagi kami, Imam mau berkunjung ke sini. Adakah keperluan yang bisa kami bantu?” sambut Gubernur.

“Aku punya seorang tetangga. Ia ditangkap kemarin malam. Bisakah engkau melepaskannya?”

“Tentu saja. Kami akan melepaskannya dan semua orang yang ditangkap sejak kemarin malam.”

Setelah dilepaskan, pemuda itu berjalan mengikuti Imam Abu Hanifah.
“Wahai pemuda, apakah kami menyia-nyiakan engkau?” tanya Imam Abu Hanifah kepadanya.
“Tidak. Kini aku tahu bahwa engkau telah menjaga dan memperhatikan kami. Semoga Allah menjagamu sebagaimana engkau telah memuliakan tetanggamu”

Tak lama kemudian, pemuda itu pun bertaubat. Ia tak lagi minum khamr, ia juga tak lagi mengoceh tersia-siakan. Lingkungan Imam Abu Hanifah kini lebih tenang, dan hati pemuda itupun kini lebih damai.

Demikianlah ulama yang disebut Rasulullah sebagai pewaris para Nabi. Mereka peduli kepada tetangga dan masyarakatnya sebagaimana para Nabi peduli kepada umatnya. Dan demikianlah seharusnya sikap para dai, yang menjadi penerus para ulama. Dakwah dengan tindakan nyata yang mencerminkan kepedulian, jauh lebih efektif daripada dakwah melalui kata-kata dan tulisan.

Banyak pemuda lain seperti pemuda itu. Mereka merasa jauh dari Islam, mereka merasa hidupnya gersang. Namun pada saat yang sama, mereka merasa tak diperhatikan. Mereka merasa tidak dipedulikan. Jadilah mereka makin jauh dari kebenaran. Hingga… ketika dakwah menghampirinya dengan penuh kepedulian. Ketika dakwah merangkulnya dengan perhatian. Ketika dakwah meraih tangannya dengan pertolongan. Ketika dakwah memeluknya erat dalam kehangatan, “maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (QS. Fussilat : 34). [Muchlisin BK/kisahikmah.com]

Artikel sebelumnyaRenungan untuk Muslimah: Awas Ada Kamera!
Artikel berikutnyaKisah Pernikahan Lelaki Kaya dan Tampan dengan Wanita Gemuk, Hitam dan Tidak Cantik