Memenuhi janji adalah akhlak mulia yang mendarah daging dalam Islam. Dengan mudah kita dapati episode-episode apik tentang kisah memenuhi janji pada generasi awal Islam. Namun, di antara semua kisah, agaknya kisah ini yang paling menyentuh hati.
Terik surya memanggang dedaunan ketika Khalifah Umar bin Khattab tengah berbincang dengan para sahabat. Suasana akrab mereka tiba-tiba terjeda oleh kehadiran dua pemuda berwajah serupa, membawa seorang pria belia dengan mata sayu dan wajah tertunduk malu.
“Wahai Amirul Mukminin,” kata salah seorang dari mereka. “Pemuda ini telah membunuh ayah kami.”
Umar yang bijaksana memandangi pemuda itu dengan penuh tanya. “Apa yang sebenarnya terjadi, anak muda?” tanya Umar dengan suara yang tegas namun lembut.
Pemuda itu pun mulai bercerita, suaranya pelan namun terdengar penuh penyesalan. “Aku datang dari negeri yang jauh,” katanya.
“Setibanya di kota ini, aku menambatkan kudaku di kebun milik dua pemuda ini. Aku tinggalkan kudaku sejenak untuk menyelesaikan urusanku. Saat kembali, aku melihat ayah mereka tengah memukul kudaku dengan batu hingga mati. Amarah menguasai diriku. Aku tidak bisa menahan diri, aku hunus pedangku dan menebas lelaki tua itu. Baru setelah itu aku sadar telah melakukan dosa besar. Laki-laki itu adalah ayah mereka.”
Kesedihan terlintas di wajah pemuda itu. Ia tak membela diri. “Tegakkanlah hukum Allah, wahai Amirul Mukminin. Aku terima jika harus menjalani qishash,” katanya dengan suara bergetar.
Namun sebelum menerima hukumannya, pemuda itu memohon waktu. “Aku punya amanah dari kaumku yang harus kuselesaikan, aku harus kembali untuk menuntaskan urusan itu dan berpamitan dengan keluargaku. Aku akan kembali, wahai Amirul Mukminin. Aku bersumpah demi Allah.”
Umar menatapnya penuh keraguan. “Siapa yang akan menjamin bahwa kau akan kembali? Tidak ada satu pun yang mengenalmu di sini.”
Pemuda itu terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara lirih, “Aku tak punya siapa pun di sini kecuali Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Mendengar.”
Di saat itu, suara berat dan penuh wibawa terdengar dari kerumunan. “Aku akan menjaminnya,” kata Salman Al-Farisi dengan tenang. “Biarkan dia menuntaskan urusannya. Aku yang akan menanggung jika dia tidak kembali.”
Tiga hari berlalu, dan waktunya nyaris habis. Hati Umar resah. Salman, yang tenang selama ini, tetap duduk dengan sabar meskipun jiwanya di ujung bahaya. Jika pemuda itu tidak kembali, Salman yang akan menanggung qishash.
Baca juga: Kisah Tahajud Seorang Pengangguran
Hari ketiga hampir berakhir, tetapi pemuda itu belum kelihatan jua. Keadaan semakin tegang. Para sahabat mulai merasa iba kepada Salman. Namun, di saat-saat terakhir, tampak sosok pemuda itu berjalan tertatih-tatih, keringat bercucuran di wajahnya. Ia segera meminta maaf karena terlambat.
“Perjalananku penuh rintangan, dan untaku hampir mati kelelahan. Aku harus berjalan kaki untuk sampai ke sini,” katanya.
Umar, dengan mata berkaca-kaca, bertanya, “Mengapa kau kembali? Kau bisa saja melarikan diri dan tak harus menanggung hukuman ini.”
Dengan senyum yang tulus, pemuda itu menjawab, “Aku tak ingin ada yang berkata bahwa tidak ada lagi di antara kaum muslimin yang memenuhi janji. Janji adalah amanah yang harus kutepati meskipun risikonya adalah mati.”
Lalu Umar menoleh kepada Salman, “Mengapa kau rela menjadi penjamin bagi seseorang yang tidak kau kenal?”
Salman menjawab dengan tenang dan penuh keyakinan, “Agar tidak ada yang mengatakan bahwa di antara umat Islam tak ada lagi rasa saling percaya.”
Tiba-tiba, kedua kakak beradik yang menuntut qishash maju ke depan. Mereka berkata, “Kami memutuskan untuk memaafkannya. Kami melihat bahwa pemuda ini adalah seorang yang berbudi luhur dan memenuhi janji. Kami tidak ingin ada yang mengatakan bahwa di antara kaum muslimin tidak ada lagi kasih sayang dan pengampunan.”
Tangis syukur pecah di hati pemuda itu. Ia sujud sukur kepada Allah. Salman, pun, menyungkurkan wajahnya penuh syukur. Keduanya mengagungkan nama Allah yang Maha Pengampun.
Dari peristiwa ini, kita belajar bahwa persaudaraan dalam Islam bukan hanya soal ikatan darah, melainkan ikatan kepercayaan yang terbangun di atas keimanan kepada Allah. Persaudaraan ini diikat oleh amanah, memenuhi janji, dan kasih sayang yang tak pernah lekang. [Yahya/Kisah Hikmah]