Kita tentu mengenal Abdullah bin Mubarak. Seorang ulama besar tabi’ut tabi’in yang lahir pada 118 H. Beliau menjadi rujukan fatwa di zamannya, bahkan setelah beliau tiada. Beliau dikagumi ibadah dan kezuhudannya, sekaligus semangat jihadnya.
Kita mengenal Abdullah bin Mubarak, namun tahukah kita siapa ayahnya? Membaca salah satu episode kehidupan Mubarak, kagumlah kita betapa jujurnya ia dan karenanya pantaslah jika putranya menjadi ulama besar.
Belasan tahun sesudah abad pertama Hijriyah berlalu, Mubarak masih menjadi budak. Ia ditugasi oleh tuannya untuk menjaga kebun delima. Bertahun-tahun Mubarak menjadi penjaga kebun delima itu. Suatu hari, majikannya datang ke kebun itu dan minta diambilkan delima yang manis.
Mubarak mengambilkan salah satu buah delima, tetapi majikannya tidak berkenan saat mencicipinya. “Ini masam, Mubarak,” katanya dengan nada kecewa, “carikan yang manis”
Mubarak mengambilkan buah kedua. “Ini juga masam, carikan yang manis!” kata-kata itu kembali meluncur dari sang majikan setelah ia mencicipinya.
Mubarak mengambilkan buah delima ketiga. Lagi-lagi, wajah majikan menandakan raut muka kecewa setelah memakannya. “Ini masam, Mubarak. Apakah kau tidak bisa membedakan buah delima yang manis dan buah delima yang masam?”
“Saya tidak dapat membedakannya, tuan. Sebab saya tak pernah mencicipinya?”
Mendengar jawaban itu, alangkah herannya sang majikan. “Kau tidak pernah mencicipinya? Padahal kau sudah bertahun-tahun aku tugaskan menjaga kebun ini”
“Iya tuan. Engkau menugaskan aku untuk menjaganya, bukan untuk mencicipinya. Karenanya aku tidak berani mencicipinya walaupun satu buah,” jawab Mubarak.
Sang majikan tidak jadi marah. Persoalan tidak mendapatkan delima yang manis terlupakan begitu saja. Yang ada kini hanya kekaguman. Ia kagum dengan kejujuran penjaga kebunnya. Belum pernah ia mendapati seseorang yang lebih jujur dan memegang amanah melebihi budak di hadapannya ini.
“Wahai Mubarak, aku memiliki putri yang belum menikah,” kata sang majikan mengubah topik pembicaraan, “menurutmu, siapakah yang pantas menikah dengan putriku ini?”
“Dulu, orang-orang jahiliyah menikahkan putrinya atas dasar keturunan,” jawab Mubarak, “Orang-orang Yahudi menikahkan putrinya atas dasar harta dan kekayaan. Orang-orang Nasrani menikahkan putrinya atas dasar ketampanan. Maka sudah selayaknya orang-orang Muslim menikahkan putrinya atas dasar agama.”
Jawaban ini semakin membuat sang majikan kagum dengan Mubarak. Dan selang beberapa waktu, Mubarak dipilih olehnya untuk menjadi menantu. Ia dinikahkan dengan putrinya. Dan dari pernikahan mereka, lahirlah Abdullah bin Mubarak pada tahun 118 hijriyah.
Demikianlah, kejujuran selalu berbuah manis. Apa yang dialami Mubarak, kejujuran membuatnya bebas, dari budak menjadi orang yang merdeka. Bahkan, kejujuran mempertemukannya dengan cinta dan jodohnya. Apa yang dialami Mubarak juga mirip dengan apa yang dialami oleh ayah Imam Syafi’i. Kejujuran selalu berbuah manis.
Kisah ini –seperti halnya kisah kejujuran ayah Syafi’i- juga menegaskan, bahwa jika kita menginginkan anak yang shalih, maka hal itu harus dimulai dari diri kita. Dengan menjadi pribadi yang jujur, dengan menjadi pribadi yang berakhlak mulia, dengan menjadi pribadi yang shalih yang berpegang teguh pada agama. Lalu menikah dengan wanita yang jujur, berakhlak mulia dan berpegang teguh pada agama juga. Setelah itu, dengan memperbanyak doa, tentunya dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, semoga lahirlah anak-anak shalih yang kita dambakan bersama. [Tim Redaksi Kisahikmah.com]