Kisah Ibu Penderita Rematik Stadium Akhir yang Mengemis Demi Membiayai Sekolah Anaknya

0
Ibu Mengemis @twitter
Ibu Mengemis @twitter
Ibu Mengemis @twitter

Pengorbanan seorang ibu adalah oase yang akan selalu menyejukkan belantara kehidupan yang kian panas dan ganas. Cinta seorang ibu kepada anaknya bagai mata air yang tak akan kering dan senantiasa hadirkan kesejukan. Kasih sayang ibu bagai mentari yang akan terus menyinari, menghangatkan dan menghidupi tanpa sedikit pun membakar atau mematikan.

Membaca dan menceritakan kembali perjuangan seorang ibu kepada anak-anaknya, bak mengonsumsi sajian paling bermanfaat nan menyehatkan.

Sepeninggal suaminya, ibu ini hidup menjanda dengan seorang anaknya yang akan masuk ke sekolah menengah atas. Bukan ujian yang ringan, sebab mereka adalah keluarga petani. Sang ibu harus terus bekerja di ladang demi menghidupi dan membiayai anaknya bersekolah.

Ujian semakin bertambah tatkala sang ibu tergeletak lantaran sakit. Selepas menjalani pemeriksaan, ia divonis menderita rematik stadium akhir. Andai ada biaya, seharusnya dilakukan operasi. Sebab tak miliki banyak harta, sakit itu dibiarkan. Namun, ada satu hal yang tak bisa dibiarkan: hidup harus dilanjutkan, makan kudu senantiasa ada dan biaya sekolah anaknya tidak boleh menunggak.

Mengetahui hal ini, sang anak nan baik hatinya berkata lirih hati-hati, “Bu, aku akan berhenti sekolah,” ujar sang anak, menunduk. “Aku akan membantu ibu mencari uang untuk kelanjutan hidup kita,” pungkasnya tanpa berani menatap mata ibunya.

“Nak,” jawab sang ibu, “ibu memahami niat baikmu. Tapi,” lanjutnya menjelaskan, “sekolahmu harus berlanjut.” Seraya menggenggam jari-jemari sang anak, ibu itu berkata penuh keyakinan, “Ibu akan terus bekerja agar mampu membayar biaya sekolahmu.” Luar biasa.

Hari berikutnya, sebelum sang anak beranjak ke sekolah, ibu pekerja keras itu sudah pergi dari tempat tidurnya. Tanpa diketahui sang anak, sang ibu memaksakan diri bekerja demi membayar biaya sekolah anaknya. Ketika itu, biaya sekolah yang diwajibkan oleh pihak sekolah adalah menyetorkan sejumlah beras, bukan uang.

Bulan pertama, ibu itu datang dengan menggendong sekarung beras. Lepas ditimbang, oleh pengawas timbangan yang juga komite sekolah, ibu ini mendapat teguran karena karung yang disetorkan berisi campuran beras dan gabah. Karena baru sekali, beras bercampur gabah itu diterima oleh pihak sekolah dengan catatan.

Bulan berikutnya, ibu itu kembali datang untuk menyetor pembayaran. Dengan tergopoh, diserahkanlah sekarung di tempat penimbangan. Lantaran memiliki catatan, pengawas memeriksa karung yang diserahkan oleh sang ibu. Dengan mata terbelalak, sang pengawas bertanya, “Kenapa ibu tetap melakukan kesalahan ini?” ternyata, meski kadar gabah lebih sedikit dari bulan lalu, kali ini di karung tersebut berisi campuran banyak jenis beras. Kata pengawas menyelidik, “Memangnya ibu memiliki berapa hektar sawah sehingga mencampur sekian banyak jenis beras dalam satu karung ini?”

Saat memasuki bulan ketiga dan mendapati kejadian yang sama, pengawas pun tak bisa membiarkan tindakan sang ibu. Dengan amat terpaksa, ibu itu berkata sembari menunjukkan kakinya yang semakin parah sakitnya, “Saya menderita rematik stadium akhir, Pak. Saya tak bisa bekerja.” Melihat kondisi kaki dan penuturan sang ibu, pengawas itu hanya diam, terharu. “Beras yang saya setorkan tiap bulan adalah hasil mengemis,” tapi, lajut sang ibu, “tolong jangan beritahukan hal ini kepada anak saya. Saya tidak ingin dia menjadi minder dan malu karena mengetahui hal ini,” kata wanita itu mengakhiri kisahnya sebelum kembali mengemis.

Lantaran iba, pengawas itu pun menceritakan kejadian tersebut kepada pengurus dan komite sekolah. Akhirnya, pihak sekolah memutuskan untuk memberikan santunan selama tiga tahun berupa bebas biaya pendidikan dan biaya hidup untuk ibu dan anaknya itu.

Ternyata, sang anak mendapatkan nilai yang bagus sepanjang tiga tahun itu. Ia masuk dalam jajaran siswa berprestasi. Di tahun ke tiga, saat pengumuman kelulusan, pihak sekolah memberikan tempat duduk khusus untuk sang anak. Dalam pidato sambutannya, Kepala Sekolah menyampaikan kisah inspiratif tentang seorang ibu kepada semua yang hadir. Di akhir cerita, Kepala Sekolah mengatakan, “Inilah ibu yang tadi saya ceritakan,” ucapnya mempersilakan sang ibu untuk naik ke atas panggung.

Betapa terhenyaknya sang anak saat melihat ibunya berjalan menaiki panggung. Sembari menahan haru, sang anak berlari menyambut ibunya. Dalam dekap sang ibu, ia berujar lirih, “Oh… Ibuku.”

Ibu itu telah merahasiakan profesinya sebagai pengemis selama tiga tahun, tanpa diketahui oleh anaknya sendiri. Betapa mulia hatinya. [Pirman]

Artikel sebelumnyaMasuk Surga Karena Seekor Lalat
Artikel berikutnyaKisah Pemanggul Sedekah tak Dikenal Hingga Menghitam Bahunya