Dakwah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw adalah perjuangan penuh kelembutan yang berasal dari nurani yang tulus. Ialah sikap sayang sebab tak rela jika sesamanya harus menanggung sengsara bersebab ketidaktahuan sehingga membawanya menuju kepada kekafiran. Dakwah penuh kelembutan merupakan hikmah. Banyak yang mengerti, tapi amat sedikit yang kuasa untuk menjalankannya.
Al-Habib Mundzir bin Fuad al-Musawwa yang merupakan pendiri Majlis Rasulullah Saw mencontohkan ini kepada kita semua. Dalam sebuah perjalanan dakwahnya, kelebutan hati yang beliau teladani dari Rasulullah Saw berhasil menaklukan seorang preman, berkat Kuasa Allah Swt.
Terkisahlah seorang preman yang amat brutal di bilangan Priok Jakarta Utara. Merampok, berjudi, minum arak dan tindakan maksiat lainnya bisa dikatakan sudah menjadi kebiasaan orang tersebut. Sampai-sampai, masyarakat sekitar merasa takut ketika berpapasan apalagi berhadapan dengan sosoknya.
Tak terkecuali para pemuda yang kala itu berniat untuk mengadakan majlis di dekat mushola yang berdekatan letaknya dengan rumah preman tersebut. Berdasarkan hasil musyawarah, mereka sepakat untuk mendatangi rumah preman itu guna meminta izin, agar kelak majlis yang diadakan tidak mendapat gangguan sehingga berjalan dengan lancar.
Sebab tak ada yang berani, maka majulah Habib Mundzir sebagai perwakilan dari panitia. Dengan santun, senyum tulus dan ketundukan wajah serta perilaku, beliau mengetuk pintu dan mengucap salam, lembut.
Alih-alih mendapat jawaban, tuan preman hanya diam. Sama sekali tak menanggapi. Ia hanya memberi isyarat agar tamunya itu masuk ke dalam rumahnya.
Sebelum masuk, Habib yang wafat beberapa tahun lalu ini mengulurkan tangannya, mengajak bersalaman. Tatkala preman itu balik mengulurkan tangannya, kemudian mereka berjabatan, sang Habib pun mencium tangan preman itu.
Betapa dinginnya tangan sang preman kala itu. Melihat apa yang dilakukan oleh sang Habib, ia merasa kebingungan sekaligus takjub. Ia merasa sangat dihormati dan diharagai ketika hampir seluruh masyarakat di wilayah itu, bahkan keluarganya, tak ada satu pun yang mendekati apalagi bersalaman dan mencium tangannya.
Selepas Habib menyampaikan maksudnya, keduanya terdiam. Preman yang garang itu justru tertunduk sepenuh syahdu. Hingga akhirnya, ia mendongakkan kepada dalam keadaan mata yang sembab dan air muka kemerahan.
“Tidak ada satu pun ustadz yang pernah bertamu ke rumah ini,” ia mulai mengisahkan. Lanjutnya, “Anda adalah ustadz pertama yang datang ke gubuk saya ini,” selepas jeda sejenak, ia meneruskan, “Saya amat terharu. Sungguh, orang-orang menganggap saya sebagai sosok yang kotor nan penuh dosa,” suaranya mulai tercekat, hendak memuntahkan tangis.
Setelah berhenti sejenak untuk mengatur tempo, ia melanjutkan, “Bahkan, anak-anak saya pun jijik melihat diri dan kelakuan saya.” Pungkasnya seraya menggugat, “Saya ini bajingan, mengapa meminta ijin mengadakan pengajian suci kepada saya?”
Seketika, badannya maju ke depan, sembari terus menangis. Diraih dan diciumlah tangan sang Habib, kemudian bersimpuh seraya mencium kaki ulama kharismatik itu sebagai pertanda hormat.
Qadarullah, preman tersebut pun menyetujui majlis di mushala dekat rumahnya dengan senang hati. Ia pun memerintahkan semua anak buahnya untuk bersinergi seraya membersihkan mushala tersebut. Tak ketinggalan, ia juga ‘memaksa’ anak buahnya untuk mengikuti majlis yang diadakan di dalamnya.
Demikianlah kelembutan hati, ia mampu melelehkan bangunan kesombongan seseorang. Ialah sebuah kiat jitu dari Allah Swt yang telah berhasil dipraktekan oleh Rasulullah Saw dalam berdakwah. Mahabenar Allah Swt dengan segala firman-Nya.[pirman]