Pernah terjadi gerhana pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan qadarullah, berdekatan dengan saat gerhana tersebut, putra Rasulullah yang bernama Ibrahim meninggal dunia.
Sebagian orang kasak-kusuk, bahwa terjadinya gerhana ini adalah pertanda buruk meninggalnya putra Rasulullah. Maka setelah shalat gerhana, Rasulullah berkhutbah. Diantara isi khutbahnya beliau bersabda:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلاَةِ
“Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan dua tanda kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Terjadinya gerhana matahari atau bulan itu bukanlah karena kematian seseorang atau kehidupannya. Oleh karena itu, jika kau menyaksikan gerhana bergegaslah untuk mengerjakan shalat.” (HR. Muslim)
Demikianlah Rasulullah menghancurkan mitos yang berkembang, sebelum mitos itu membesar. Sebab mitos itu, keyakinan-keyakinan yang tidak berdasar itu, membahayakan aqidah jika ia dibiarkan.
Pada kesempatan yang lain, beliau secara tegas juga melarang tathayyur.
لاَ طِيَرَةَ
“Tidak ada tathayyur” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menjelaskan dalam riwayat Abu Dawud:
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ
“Tathayyur adalah syirik, tathayyur adalah syirik, tathayyur adalah syirik”
Tathayyur atau thiyarah berasal dari kata tha’ir yang artinya burung. Dulu, orang-orang Arab jahiliyah ketika hendak bepergian mereka melepaskan burung di depan rumah. Mereka mengamati burung itu, ke mana arah terbangnya. Jika burung itu terbang ke arah kanan, mereka berangkat bepergian. Mereka memiliki keyakinan perjalanannya akan selamat, akan sukses, karena burungnya terbang ke kanan. Sebaliknya, jika burung itu terbang ke arah kiri, maka mereka tidak jadi pergi. Mereka berkeyakinan akan ada kesialan yang terjadi, akan ada kecelakaan atau kebangkrutan jika ia melakukan perjalanan. Sebab burungnya terbang ke kiri.
Hal-hal seperti ini yang tidak dikehendaki Islam. Hal-hal seperti ini yang bisa membahayakan aqidah. Karenanya Rasulullah dengan tegas menghapus thiyarah. Bahkan thiyarah disebutkan sebagai syirik, meskipun tidak otomatis mengeluarkan seseorang dari Islam.
Di masyarakat kita juga ada mitos, ada tathayyur. Pada saat terjadi gerhana seperti ini, sebagian masyarakat –khususnya masyarakat kita waktu dulu- membunyikan kentongan hingga memukul-mukul gebyok (dinding rumah yang terbuat dari papan atau bambu) hingga menimbulkan suara gaduh. Mengapa? Sebab mereka berkeyakinan, gerhana terjadi karena bulan sedang dimakan oleh Butho, bumi juga akan diserang oleh Butho. Dengan suara-suara gebyok itu, Butho takut dan kemudian tidak jadi menyerang bumi.
Ada pula fenomena thiyarah di masyarakat kita. Bukan burung seperti masyarakat Arab jahiliyah memang, tetapi konteksnya sama. Merasa sial dan menggantungkan keyakinan kepada hewan dan benda.
Di kalangan sopir, ada keyakinan begitu. Saat mereka mengendarai mobil, kemudian di jalan melintas garangan (sejenis musang), mereka berkeyakinan itu pertanda. Jika garangan yang melintas itu terus saja menyeberang jalan, maka sopir akan meneruskan perjalanan. Mengapa? Karena garangan menyeberang, pertanda baik. Pertanda perjalanan akan selamat dan membawa keuntungan. Tetapi jika garangan itu ketika sampai di tengah, kembali lagi alias tidak jadi menyeberang, maka sopir tadi berkeyakinan sesuatu yang buruk akan terjadi. Maka ia pun kembali pulang, tidak meneruskan perjalanan. Mungkin di masyarakat yang lain bukan garangan, bukan burung, tetapi hewan lain. Sesungguhnya, bukan pada hewan itu persoalannya, tetapi keyakinan itulah yang berbahaya.
Di kalangan tukang dan kuli bangunan, juga ada keyakinan begitu. Sering kita dapati, ketika sedang membangun rumah atau gedung, mereka memasang bendera. Kadang bukan bendera betulan tetapi kain seadanya atau baju usang, yang penting tampak seperti bendera. Padahal waktu itu bukan 17-an. Ternyata bendera itu dipakai sebagai tolak bala’. Mereka merasa lebih berani dan terlindungi dengan adanya bendera. Mereka dengan percaya diri turun naik lantai 1 lantai 2, karena sudah ada bendera. Tetapi mereka menjadi minder dan takut saat tidak ada bendera. Bukan masalah apakah yang berkibar itu bendera atau baju usang, tetapi yang berbahaya adalah keyakinannya.
Di kalangan ibu rumah tangga juga ada keyakinan serupa. Sebagian mereka ketika melihat awan, sementara mereka sedang menjemur baju atau menjemur padi, atau sedang ada hajatan, mereka kemudian mengambil sapu. Sapu itu diberdirikan secara terbalik dan di sebagian ujung lidi ditancapkan bawang putih, bawang merah, lombok, dan sebagainya. Dengan sapu itu, mereka jadi percaya diri bahwa hujan tidak datang. Sebab sapu beserta asesorisnya sudah diarahkan ke langit untuk menolak hujan. Bukan masalah apakah yang ditancapkan di sapu itu bawang merah, bawang putih, atau lainnya karena semua itu bermanfaat, tetapi yang berbahaya adalah keyakinannya.
Bahkan, pada saat haji pun masih ada orang yang memiliki keyakinan seperti itu. Ketika saya menunaikan haji pada tahun 2013, pada saat wukuf di arafah ada pemandangan menarik. Seorang perempuan asal Jawa menghamparkan koran, duduk di atasnya dan menumpahkan jatah makan siangnya di sana. Ketika saya tanya, ternyata dia sedang menjemur makanan untuk menjadi karak. “Karak Arafah bikin awet muda,” katanya. La haula wa laa quwwata illa billah. Ini wukuf di Arafah, yang Nabi sabdakan “Al Hajju Arafah” haji itu intinya adalah wukuf di Arafah. Ini waktu dan tempat yang mustajabah, dianjurkan untuk banyak berdoa. Kalau sekedar menjemur karak, tidak perlu jauh-jauh ke Arafah. Yang lebih parah, keyakinannya bahwa karak Arafah bikin awet muda. Lalu jika karak itu dibagikan kepada keluarganya, dibagaikan kepada tetangganya, keyakinan itu makin berkembang. Ini yang berbahaya.
Hari ini, mengambil momentum khutbah gerhana, mari kita perbaiki aqidah kita. Kita hapus mitos, thiyarah, dari keyakinan kita. Mari bersihkan hati kita. [Ditulis dari khutbah shalat gerhana bulan KH. Farid Dhofir, Lc, MSi]