Muslimah ini tak kuasa menyembunyikan rasa bahagia di hati ketika seorang laki-laki aktivis datang meminangnya. Dengan menunduk teduh, keduanya berdoa agar mahligai cinta itu sampai ke pelaminan yang suci dan diberkahi.
Sayangnya, bahagia itu tak bertahan lama. Si lelaki yang shalih ini harus mendekam dalam jeruji besi setelah diciduk oleh rezim zhalim negaranya. Lelaki shalih itu, dituduh sebagai bagian dari pemberontak hanya karena aktif sebagai da’i dalam wadah Ikhwanul Muslimin.
Tak kenal ampun, rezim zhalim itu mendekamkan si lelaki di sebuah sel di kota Qana. Jauh dari Kairo.
Namun, si akhwat yang sudah dilamar itu tak pernah menyurutkan cintanya. Ia menyusul ke Qana dari Kairo dengan transportasi apa pun yang bisa dia tempuh. Atas nama cinta.
Sesampainya di Qana, setelah tertahan beberapa waktu yang tak sebentar, Muslimah nan teguh tekadnya ini diberi izin untuk menemui si laki-laki yang telah meminangnya. Akhirnya…
Si laki-laki nan gagah iman itu, lalu bertutur dengan penuh kesadaran hati. Meski semua tahu, perasaan cintanya hancur lebur, andai tiada iman di dada.
“Kubatalkan pinanganku. Menikahkah dengan ikhwan lain.” tutur si laki-laki. Lirih. Terselip pedih.
Begitulah cinta sejati. Selayak itulah cinta atas nama iman. Sedemikian itulah kasih yang suci, dan sejati.
Ia tak pernah mengekang. Ia mustahil memaksa. Ia tak mungkin melanggar syariat. Meski perasaan tercabik, iman tetap harus di atas cinta. Apa pun alasannya.
Akan tetapi, si Muslimah yang menemukan keteladanan dan jiwa kepemimpinan di dalam diri laki-laki yang meminangnya ini tak menggubris. Ia bersikukuh. Ia tetap dalam pendiriannya. Meski menanti tak tentu waktu menjadi satu-satunya pilihan setelah istiqamah dalam iman.
Ya. Muslimah itu menunggu lelaki calon imamnya. Bukan waktu yang sebentar. Wanita itu, lelaki itu, menunggu selama sembilan belas tahun alias 228 bulan.
Si laki-laki pejuang bernama Kamal As-Sananiri itu ditangkap pada tahun 1954 dan baru dibebaskan pada tahun 1973. Pada tahun pembebasan itu pula, As-Sananiri lekas menikahi Aminah binti Quthb Ibrahim. Saat dinikahi, wanita pejuang yang merupakan adik kandung Sayyiq Quthb ini sudah berumur lebih dari 50 tahun.
Meski cinta halal nan suci keduanya tak lama, karena As-Sananiri kembali diciduk oleh rezim zhalim Mesir pada tahun 1981 dan ruhnya menghadap Allah Ta’ala di tahun yang sama, kisah cinta keduanya abadi dalam tinta emas sejarah.
Dan nafas cinta itu tetap harum, justru setelah As-Sananiri menghadap Allah Ta’ala pada 8 November 1981, insya Allah sebagai syuhada’. Sedangkan Aminah binti Quthb Ibrahim akan terus dikenal oleh umat Islam sebagai wanita pemberani dan pejuang yang produktif menuliskan karya. [Kisahikmah]