Segala puji hanya milik Allah Ta’ala, Penguasa alam semesta, yang menciptakan, mengawasi dan mengurusi semua makhluk-Nya. Dialah yang berhak dipuji atas semua kebaikan, pengasih, penyayang, dan semua nikmat yang diberikan kepada seluruh makhluk-makhluk-Nya.
Sungguh, dalam pujian ada banyak hal yang perlu diperhatikan. Apalagi jika pujian bisa menyebabkan yang dipuji terbang tinggi ke alam pujian yang karenanya menjadikan mereka sombong. Yang parah, ada oknum-oknum yang hobi melontarkan pujian kepada diri sendiri; merasa baik, suci, tanpa cacat, dan lain sebagainya.
Mereka yang memuji diri sendiri itu, di antaranya adalah orang Yahudi dan Nasrani. Di dalam al-Qur’an, kaum muslimin diingatkan, “Apakah kamu tidak memerhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?” (Qs. An-Nisa [4]: 49)
Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Ayat ini diturunkan terkait orang Yahudi dan Nasrani.”
Mereka menganggap dirinya paling bersih, tidak cacat, bahkan berhak mewarisi surga-Nya Allah Ta’ala, “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nasrani.” (Qs. al-Baqarah [2]: 111)
Bukankah ini klaim yang ditimbulkan dari kebiasaan memuji diri sendiri dan mengganggap bahwa mereka merupakan golongan terbaik yang tiada tandingannya? Lalu mereka merasa berhak mewarisi surga-Nya Allah Ta’ala bersama kaum-kaumnya.
Di dalam ayat lain mereka juga mengaku sebagai anak Allah dan hamba-hamba kesayangan-Nya. Sebuah pengakuan keji yang tak berdasar, tapi dilakukan dengan kepercayaan diri bersebab kesombongan di dalam hatinya.
Bagi kaum muslimin, sikap ini harus menjadi perhatian tersendiri. Pun, jika pujian itu tidak terkait klaim berhak atas surga, dan sejenisnya. Bahkan terkait pujian yang amat sederhana pun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sudah mengingatkan,
“Rasulullah memerintahkan kami menaburkan dua telapak tangan sepenuh debu pada wajah orang-orang yang memuji.” (Hr. Imam Muslim dari al-Miqdad bin al-Aswad)
Dalam shahih al-Bukhari dan Muslim, ketika Nabi mendengar seseorang memuji orang lain secara berlebihan, beliau bersabda, “Celakalah kamu! Kamu telah memotong leher kawanmu. Jika salah seorang di antara kalian harus memuji temannya, maka hendaklah ia mengucapkan ‘Aku kira dia begitu’. Dan janganlah seorang pun menyucikan orang lain dengan mengatasnamakan Allah.” [Pirman]