Hidup di dunia harus dijalani dengan harap dan takut yang seimbang. Berharap agar Allah Ta’ala melimpahkan berbagai jenis nikmat yang diiringi dengan perasaan takut apakah nikmat itu mampu disyukuri dan dimanfaatkan untuk kebaikan atau sebaliknya.
Hidup kudu dijalani dengan merasa takut akan berbagai jenis siksa dan kepedihan dunia dan akhirat, lalu diiringi harapan yang penuh agar diberi kekuatan untuk beramal shalih sebaik-baiknya. Ketika harap dan takut tidak seimbang, hasilnya pasti keburukan.
Ketika seluruh upaya menuju kebaikan serasa dipersulit, kita harus menunduk seraya melakukan introspeksi diri. Jangan-jangan, semua itu terjadi lantaran kesalahan masa lalu yang belum disesali. Bisa jadi, ada dosa-dosa yang pernah dilakukan dan kita justru merasa bangga dengannya.
“Dan barang siapa yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala berada dalam kesesatan, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.”
Dhayyiqan atau sempit dalam surat al-An’am ayat 125 ini dimaknai oleh Imam Ibnu Katsir dengan dosa. Dada mereka sesak disebabkan oleh kesia-sian, kekeliruan, kesalahan, kesesatan, dan dosa yang mereka lakukan.
Bukan hanya sesak, dada orang kafir juga terasa sempit, harajan. Ialah tidak mampu menerima petunjuk serta tidak mampu mendapatkan sesuatu yang bermanfaat dari keimanan juga tidak mampu mengerjakannya.
Tatkala menjelaskan makna ayat ini, Imam Ibnu Katsir menambahkan terkait adanya pohon bernama harajah yang tidak mampu dijangkau oleh hewan gembalaan, binatang liar, atau yang lainnya.
Kemudian Sayyidina ‘Umar bin Khaththab berkata, “Seperti itu pula hati orang-orang munafik. Ia tidak mampu dijangkau sama sekali oleh suatu kebaikan sekecil apa pun.”
Seharusnya kita bersedih. Selayaknya kita menunduk sembari menangis. Betapa banyak amal shalih yang terlewat, sementara badan kita senantiasa dalam kesehatan bahkan kebugaran.
Betapa selama ini kita mampu mendatangi tempat dan lokasi yang jauh nan terjal serta membutuhkan banyak pengorbanan, tapi untuk melangkahkan kaki ke masjid di seberang rumah terasa amat sukar dan rumit.
Betapa sebagian kita dengan mudahnya membelanjakan banyak harta untuk keperluan rumah mewah, kendaraan keluaran terbaru, makanan lezat di berbagai lokasi dan busana desain terbaru dengan harga melangit, tapi begitu berat saat harus memberikan selembar warna biru di kotak amal atau memberikannya kepada tetangga yang memang membutuhkan dana.
Ketika hal ini terjadi dalam diri, kita harus benar-benar bersedih! Sebab maknanya bukan kita yang enggan melakukan kebaikan, tapi kebaikan itu yang tidak rela jika kita berdekatan dan menjadi pelakunya!
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]