Ustadz, apa kabar? Semoga engkau senantiasa dalam lindungan Allah Ta’ala. Mudah-mudahan engkau selalu diberi kesehatan, kekuatan, dan keberkahan dalam ilmu serta hidup yang Ustadz jalani hingga kelak bertemu dengan Allah Ta’ala dalam kondisi hati yang selamat dan menyelamatkan.
Ustadz, mohon maaf, jika surat cinta ini terkesan kurang atau tidak sopan. Bukan, bukan karena saya hendak menyampaikan nasihat di tempat terbuka. Ini hanya nasihat untuk diri sendiri, apalagi saya tidak bisa berjumpa dengan Ustadz secara langsung.
Saya memahami dan menyadari; saya ibarat sumur di lapis bumi ketujuh, sedangkan Ustadz ada di langit lapis ketujuh. Ada jarak yang begitu jauh dan mustahil saya lipat. Khawatirnya, nasihat ini mengendap di kepala, dan saya mati sebelum benar-benar bertemu dengan Ustadz. Maka, saya memutuskan untuk menulis surat cinta ini.
Jika pun surat cinta tidak sampai, mudah-mudahan ini bermanfaat bagi saya dan santri-santri Ustadz yang jutaan, atau kaum Muslimin secara umum. Ini hanya cara untuk mengamalkan satu sunnah, agar kita terbiasa dengan budaya saling menyampaikan nasihat dalam kebenaran, kesabaran, dan kasih sayang.
Begini, Ustadz.
Saya membaca syarah Risalah al-Mustarsyidin yang ditulis oleh Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah. Beliau mengutip percakapan antara Imam Malik bin Dinar dengan Imam Hasan al-Bashri Rahimahumallahu Ta’ala. Dialog tersebut dikutip dari kitab al-Bidayah wa an-Nihayah tulisan Imam Ibnu Katsir Rahimahullahu Ta’ala.
Imam Malik bin Dinar Rahimahullahu Ta’ala bertanya, “Apakah balasan bagi orang berilmu yang cinta dunia?”
“Hatinya akan mati. Jika dia mencari dunia dengan amalan akhirat sebagai jalannya, maka keberkahan ilmunya akan hilang, sehingga yang tersisa hanya bayangan ilmunya saja!” terang Imam Hasan al-Bashri Rahimahullahu Ta’ala.
Ustadz, saya tahu bahwa niat Ustadz karena Allah Ta’ala. Itu jelas terlihat dari fisik, wajah, dan keseharian Ustadz, sesuai dengan pengamatan saya yang ala kadarnya. Dan biarlah urusan niat ini menjadi sesuatu yang sangat pribadi antara Ustadz dengan Allah Ta’ala.
Tapi, saya melihat gejala lain pada santri-santri Ustadz yang jumlahnya kiat banyak. Ada kesan menukar Dhuha dengan rezeki rupiah saja. Ada kesan melakukan Tahajjud demi karir semata. Ada kesan dzikir hanya untuk aset, sawah, dan pernik duniawi saja.
Sungguh, janji-janji itu nyata dari Allah Ta’ala. Maka betapa naifnya jika kita hanya berharap rezeki dunia atas Dhuha yang kita kerjakan? Bukankah itu sama dengan orang yang berharap pohon mangga agar berbuah mangga?
Bukankah akan lebih elok jika yang dikejar adalah keikhlasan. Sebab jika ikhlas, Allah Ta’ala akan memberikan lebih dari yang diminta. Bahkan jika tak sempat meminta, Allah Ta’ala akan berikan semuanya, dilimpahkan tanpa batas. Bahkan jika tak diberi di dunia, semua pahala atas kebaikan itu pasti tunai diberikan di akhirat kelak.
Sekali lagi, maafkan saya, Ustadz. Semoga Ustadz senantiasa diberkahi kehidupannya dan dipanjangkan umurnya. Aamiin.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]