Istri-istri salehah ini pernah berkumpul. Mereka sepakat dengan satu tuntutan yang sama kepada suami mereka; kenaikan uang belanja. Kepada mereka, sang suami nan santun dan baik hati ini berkata, “Silakan pilih; tetap bersamaku atau aku ceraikan.” Rupanya, sebab pesona dunia akhirat sang suami, kesemua istrinya sepakat untuk hentikan tuntutan dan kembali menjalani kehidupan harmonis-romantis bersama suami terbaik sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Mereka itulah istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Sosok-sosok Muslimah salehah yang harum dibincang sejarah sebab pesona kebaikan yang ada di dalam dirinya. Disebutkan dalam banyak riwayat, sejak bersama Nabi dan sewafatnya beliau, mereka sejatinya adalah wanita-wanita yang tak tertarik sedikit pun dengan recehan harta dan hal-hal lain terkait dunia.
Kepada Zainab binti Jahsy, diberikanlah uang dari Baitul Maal sebanyak dua belas ribu dirham. Jumlah yang banyak jika untuk keperluan hidup sehari-hari sebagai janda, seorang diri. Rupanya, dari uang sebanyak itu, beliau hanya mengambil sedikit untuk keperluan selama setahun.
Selebihnya dibagikan kepada kaum Muslimin yang membutuhkan. Seketika itu juga, tak menunggu hari berikutnya. Hingga, berita pembagian harta itu sampai kepada ‘Umar bin Khaththab. Maka, ‘Umar pun bertamu. “Telah sampai kabar kepadaku bahwa kamu membagi-bagikan harta yang sudah menjadi hakmu,” tutur ‘Umar santun.
‘Umar hanya ingin memastikan bahwa para Ummul Mukminin itu tercukupi kebutuhannya, terpenuhi haknya. Sehingga mereka terhindar dari meminta-meminta atau melakukan pekerjaan fisik berlebihan hanya untuk mencukupi kebutuhan perut.
Maka, sebelum pergi, ‘Umar memberikan uang tunai sebagai jatah untuk Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy sebesar seribu dirham. Jika dikurskan dengan rupiah saat ini, jumlahnya sekitar 10.000.000 (1 dirham sekitar Rp 40.000,-).
Rupanya, setelah ‘Umar berpamit, semua uang yang diberikan kembali dibagikan kepada kaum Muslimin yang membutuhkan hingga tak tersisa sepeser pun.
Dalam riwayat yang lain juga disebutkan, ketika Ibnu Zubair mengirimkan harta kepada ‘Aisyah binti Abu Bakar dalam dua angkutan yang ditaksir sejumlah 1180 (Ummu Dzarrah tidak menyebutkan satuannya-dirham atau dinar). Tak berselang lama, semua harta itu dibagikan hingga tak menyisakan sedikit pun untuknya. Pun, untuk berbuka puasa di malam harinya.
Betul jika kita butuh harta untuk hidup di dunia. Tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan, bukan untuk bermewah-mewah apalagi bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Dan, generasi terbaik umat ini telah mencontohkannya dengan amat gemilang nan memesona. [Pirman]