Hikayat Si Miskin yang Tertawan Dunia

0

Tersebutlah dua sosok kakak beradik dalam sebuah kisah hikmah. Sang adik adalah seorang guru di sebuah perguruan Islam. Ia memiliki banyak murid di padepokannya. Hidup amat sederhana. Rumah hanya berbentuk gubuk, tak miliki aset kekayaan lainnya.

Guna menyambung hidup, lelaki pertama ini harus memancing setiap pagi. Dari hasil memancing itulah ia makan. Terus seperti itu. Namanya saja memancing, kadang mendapatkan ikan banyak, sedikit, bahkan sering tidak mendapatkan ikan satu pun.

Suatu hari sosok yang juga menjadi guru di padepokannya ini meminta tolong kepada salah satu muridnya. “Nak,” sapanya hendak meminta tolong. “Datanglah ke rumah Kang Masku. Mintakan nasihat kepadanya.” Demikian itulah pesan sang guru kepada santrinya. Ia pun menunjukkan kediaman kakaknya di sebuah desa yang tak jauh dari padepokannya.

Sampai di rumah kakak gurunya, santri utusan ini terbelalak. Kagum bukan kepalang, tak habis pikir. Pasalnya, si kakak adalah sosok yang kaya raya. Rumahnya bagus, memiliki banyak sarana transportasi, peternakan, kebun, dan sebagainya. Sementara adik yang menjadi gurunya itu, bisa dibilang amat miskin; untuk makan saja amat susah.

Lepas menghadap dengan kakak dari gurunya itu, santri utusan pun menyampaikan maksud kedatangannya. “Saya diminta oleh Guru untuk meminta nasihat kepada Anda,” ujar sang utusan.

Tak panjang kalam dan kisah, sang kakak berujar santai, “Jangan tertawan dengan dunia.” Ia pun undur diri kepada tamunya itu.

Di sepanjang perjalanan pulang ke padepokan, si murid bingung bukan kepalang. Dalam logikanya, kakaknya itu salah memberikan nasihat. Sebab, dalam pemikiran si murid, kakaknyalah yang seharusnya tidak tertawan dengan dunia. Sedangkan gurunya sama sekali bebas dari tawanan dunia. Pikirnya, “Buat makan aja susah, bagaimana ceritanya tertawan dengan dunia?”

Si murid ini pun bergegas. Lalu kagetnya bertambah melimpah saat melihat gurunya menangis amat kencang hingga tubuhnya berguncang setelah mendengarkan nasihat dari kakaknya. Si murid makin tidak mengerti.

Lepas reda tangis gurunya, si murid pun memberanikan diri bertanya kepada gurunya, “Apa yang sebenarnya terjadi, Guru? Bukankah Guru tiada tertawan dengan dunia secuil pun? Bukankah kakaknya Guru yang tersandera dengan dunia?”

“Nak,” ujar gurunya tenang nan lembut, “Kakakku kaya. Tapi, ia rela jika titipan hartanya itu diambil seketika. Sedangkan aku, hampir setiap hari berpikir; besok mancing di sebelah mana ya? Besok dapat ikan atau tidak ya? Dan pikiran-pikiran picik sejenisnya.” [Pirman/Kisahikmah]

Artikel sebelumnyaSuka Menghardik Ibu, Makam Laki-laki Ini Terbelah Dua
Artikel berikutnyaPemimpin Dunia yang Tetap Mencium Kaki Ibunya