Sahabat mulia Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Di bumi-Nya ini, Allah ta’ala memiliki wadah-wadah. Salah satunya adalah hati. Sebab itu, hanya wadah yang bersih, kuat, lagi lembut saja yang Dia terima.”
Mari melihat ke dalam diri. Adakah kita memiliki wadah yang disebutkan oleh salah satu sahabat terbaik Nabi sebagai wadah yang dterima oleh Allah Ta’ala ini? jangan-jangan, kita tidak memilikinya. Jangan-jangan, wadah yang kita miliki justru mengalirkan berbagai jenis keburukan.
“Wadah-wadah tersebut,” tulis Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam Miftah Dar as-Sa’adah, “ada yang berisi kebaikan dan ada yang berisi keburukan. hal ini sebagaimana dituturkan oleh para ulama terdahulu, ‘Hati orang yang berbakti akan mengalirkan kebajikan, sementara hati para pelaku dosa akan mengalirkan keburukan.’”
Apakah hati kita rajin menelurkan berbagai proyek kebaikan di sepanjang hidup yang telah Allah ta’ala berikan ini? Apakah kita terdepan dalam banyak amal shalih di berbagai lini kehidupan? Adakah kita menjadi pelopor kebaikan? Ataukah sebaliknya?
Imamnya para nabi, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Inabah al-Khaulani dengan derajat yang marfu’ pernah berkata, “Allah Ta’ala memiliki wadah-wadah di tengah-tengah makhluk di bumi. Wadah Tuhan kalian adalah hati orang-orang shalih. Dan wadah yang paling disukai adalah yang paling lembut dan paling halus.’”
Adakah kita layak digolongkan ke dalam wadah-wadah Allah Ta’ala lantaran terdapat syarat keshalihan di dalam diri kita? Adakah hati kita layak digolongkan ke dalam wadah yang paling bagus karena memiliki ciri paling lembut dan paling halus?
Ataukah kita tak layak untuk sekadar mendapatkan gelaran wadah-wadah Allah ta’ala lantaran jauhnya diri dari kriteria shalih? Ataukah diri ini justru tergolong dalam wadah yang senantiasa mengalirkan keburukan disebabkan banyaknya dosa yang senantiasa dikerjakan dan sedikit bahkan tiadanya aktivitas pertaubatan yang kita lakukan?
Dalam perkara inilah seharusnya kita berlomba untuk melayakkan diri. Sebab hanya hati yang selamatlah kelak yang diberi hak untuk menghadap Allah Ta’ala. Sebaliknya, hati yang penuh penyakit bahkan mati, tiada tempat baginya kecuali kesengsaraan dan kenestapaan di dunia hingga akhirat.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]