Didorong rasa ingin tahu, pernah suatu hari, para sahabat yang mulia memberikan pertanyaan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara berlebihan. Hingga, pada hari lainnya, Nabi yang mulia naik ke atas mimbar, lalu berkata sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Malik, “Tidaklah kalian bertanya kepadaku hari ini tentang suatu persoalan (apa pun), melainkan aku akan menjelaskannya.”
Memahami makna perkataan kekasihnya itu, para sahabat yang mulia justru diam seribu bahasa. Semuanya menunduk, tidak ada yang berani mengangkat kepala menyaksikan wajah cerah Nabi, apalagi melontarkan tanya kepada manusia termulia sepanjang zaman ini.
Kata Anas bin Malik, “Para sahabat Rasulullah merasa takut akan mendapatkan suatu perintah yang telah turun.” Masing-masing dari mereka, lanjut Anas, “Menyembunyikan kepala di balik kainnya seraya menangis.”
Di tengah hening nan mengharukan itu, ada salah satu hadirin yang memberanikan berdiri, lalu menyampaikan pertanyaan, “Ya Rasulullah, siapakah ayahku?” Seketika, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun menjawab, “Ayahmu adalah Hudzafah.”
Tak lama setelah si laki-laki itu, bangkitlah sang Faruq ‘Umar bin al-Khaththab. “Kami ridha,” tegas ‘Umar, “Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Utusan Allah, dan aku berlindung kepada Allah Ta’ala dari keburukan fitnah.”
“Selanjutnya,” demikian Anas bin Malik menuturkan yang dikutip oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun bersabda, ‘Aku belum pernah menyaksikan kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Surga dan neraka diperlihatkan kepadaku sampai aku dapat melihat keduanya tanpa dinding penghalang.”
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim ini dikutip oleh Imam Ibnu Katsir dalam menjelaskan firman Allah Ta’ala yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkanmu.” (Qs. al-Maidah [5]: 101)
Kemudian, Imam Ibnu Katsir menyimpulkan, “Lahiriyah ayat ini menunjukkan larangan menanyakan sesuatu yang jawabannya justru akan menyusahkan penanya. Yang lebih baik adalah menghindari dan meninggalkannya.”
Cukuplah kisah Bani Israil menjadi bukti tentang banyak bertanya yang mengantarkan pelakunya pada keterjerumusan. Banyak bertanya juga menjadi salah satu sebab utama tergelincirnya umat-umat terdahulu dari jalan kebenaran dan kebaikan. [Pirman/Kisahikmah]