Kepada sahabat mulia Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan, sembilan dari sepuluh kunci kebijaksanaan adalah dengan mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia (‘uzlah). Cara untuk melakukan ‘uzlah, salah satunya adalah dengan memperbanyak diam, sedikit bicara kecuali untuk kebaikan.
Wahib bin al-Ward, salah seorang shalih dari kalangan tabi’in, disebutkan berlatih untuk menjadi sosok yang bijaksana. Beliau pun menyedikitkan bicara, memperbanyak diam. Akan tetapi, beliau senantiasa mendapatkan kegagalan hingga dirinya melakukan ‘uzlah.
“Ternyata,” tulis Nashih Nashrullah dalam Islam Digest Republika (17/1), “diam saja tidak cukup. Sikap itu harus ditopang dengan ber’uzlah.” Setelah menempuh dua langkah ini, “Usahanya pun berhasil.”
Seorang laki-laki, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, mendatangi sahabat mulia Sa’id bin Khudhri Radhiyallahu ‘anhu. Ia hendak meminta wasiat agung dari sahabat mulia ini.
“Berdiamlah,” tutur Sa’id bin Khudhri Radhiyallahu ‘anhu, “kecuali untuk kebenaran. Dengan sikap itu, engkau akan (mampu) mengalahkan setan.”
Diam, sejatinya memiliki banyak keutamaan. Siapa yang mendawamkan diam, kecuali untuk membela kebenaran, ia akan mendapatkan hikmah hingga menjadi sosok yang bijaksana dalam menjalani hidup. Sebaliknya, orang yang banyak bicara hanya akan semakin memperbanyak peluang berbuat salah. Kalimat-kalimat yang terlontar sangat mungkin menjadi sarana baginya untuk dimasukkan ke dalam neraka.
Sayangnya, tidak banyak yang mengetahui hikmah di balik diam ini. Orang-orang justru berlomba untuk berbicara di semua lini kehidupan. Mereka berebut panggung untuk berbicara tanpa memikirkan akibat buruknya.
Suatu hari, datanglah seorang pemuka kaum kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia meminta nasihat, apa yang seharusnya dia sampaikan kepada kaumnya yang banyak dan menaatinya. Kepada laki-laki tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Serukan kepada mereka untuk menebarkan salam, dan sedikit bicara kecuali untuk perkara kebaikan.”
Sepertinya, kita harus mulai berpikir. Jangan asal bicara. Jangan mengatakan semua yang kita dengar atau dapatkan dari orang lain. Teliti kebenarannya, timbanglah baik-baik jika ingin meneruskannya. Sebab, jika hal itu merupakan keburukan, Anda berhak atas dosa jika turut menyebarkannya.
Kini, kita juga tahu. Mengapa orang bijak semakin tiada, sebab tak ada lagi orang yang memilih diam dan berpikir sebelum berkata. Banyaknya informasi hanya menyumbang ketidakjelasan, bahkan menjadi salah satu sumber fitnah dalam kehidupan.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]